REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) menyatakan, lemahnya pertumbuhan ekonomi di kuartal II 2019 dipengaruhi banyak hal. Untuk itu, salah satu hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam memacu pertumbuhan adalah dengan meningkatkan daya saing.
Ketua Umum Aprindo Roy Mandey mengatakan, pertumbuhan ekonomi yang melambat salah satunya disebabkan adanya defisit transaksi perdagangan yang berjalan. Di mana kinerja ekspor-impor tidak berjalan seimbang. Untuk itu dia menilai, pemerintah perlu meningkatkan daya saing dalam menggenjot ekspor.
“Jadi dengan kata lain ekspor kita masih kalah dengan impor itu, maka daya saing harus dipacu,” kata Roy saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (6/8).
Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal II 2019 sebesar 5,05 persen secara tahunan. Angka tersebut menunjukkan perlambatan jika dibandingkan dengan kuartal II 2018 sebesar 5,27 persen.
Tercatat, indikator pertumbuhan ekonomi dari ekspor dan impor terpantau negatif. Ekspor yang berkontribusi sebesar 17,61 persen dalam struktur produk domestik bruto (PDB) terpantau negatif pertumbuhannya, yakni 1,81 persen secara tahunan. Sedangkan impor juga mengalami kontraksi sebesar 6,73 persen secara tahunan. Sebagai catatan, tahun lalu impor justru tumbuh sebesar 15,17 persen secara tahunan.
Kendati demikian meski terjadi perlambatan ekonomi, dia menjelaskan, saat ini sektor ritel tak mengalami perlambatan juga. Hanya saja, kata dia, sektor ritel sedang menuju tahun pemulihan (recovery) meski tahun ini tidak seluruh peritel akan aklamasi recovery semua tipe ritelnya.
“Tapi beberapa peritel tahun ini mostly lebih baik dari tahun lalu,” kata dia.
Roy berharap, pemerintah dapat memberikan kepastian di sektor usaha. Kepastian itu dapat berbentuk regulasi, harmonisasi aturan, insentif, hingga ke dukungan pemerintah terhadap daya saing produk. Tanpa kepastian dari elemen-elemen tersebut, pertumbuhan ekonomi dan ekspor dinilai akan sulit terealisasi.
Dia menambahkan, selama ini dunia hanya mengenal Indonesia dari dua komoditas saja seperti batubara dan kelapa sawit. Padahal, selain dua komoditas tadi masih banyak produk Indonesia yang berpotensi diminati dunia.
Roy menilai, salah satu peluang produk yang diminati antara lain kopi, buah-buahan tropis, produk kerajinan tangan, makanan dan minuman (mamin), hingga produk-produk dari sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM).
“Di ritel sendiri, produk-produk UMKM peminatnya cukup besar,” kata dia.
Untuk itu dia mengapresiasi langkah pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) yang tengah memperkenalkan Indonesia melalui penjajakan kerja sama ke sejumlah negara di dunia. Meski hal tersebut belum semuanya masuk ke dalam tahapan detail penerapan kerja sama perdagangannya, namun langkah itu dinilai sudah cukup mempromosikan Indonesia.