Sabtu 03 Aug 2019 09:24 WIB

BI Diminta Tahan Suku Bunga Acuan

Dengan menahan suku bunga, pasar keuangan domestik punya daya saing menarik modal.

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Friska Yolanda
Layar monitor menampilkan suku bunga bank sentral AS. Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) sepakat menurunkan suku bunga setelah 10 tahun.
Foto: AP Photo/Richard Drew
Layar monitor menampilkan suku bunga bank sentral AS. Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) sepakat menurunkan suku bunga setelah 10 tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bank Indonesia (BI) diminta untuk tidak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan untuk memangkas kembali suku bunga acuannya usai The Fed mengerek turun bunga acuannya. Kompensasi yang diberikan BI sebelumnya dinilai sudah cukup akomodatif.

Peneliti Ekonomi The Indonesian Institute M Rifki Fadilah mengatakan kompensasi dengan menurunkan bunga acuannya sebanyak 25 basis poin dari 6 persen menjadi 5,75 persen dan 50 basis poi untuk Giro Wajib Minumum (GWM) dari 6,5 persen menjadi 6 persen untuk bank umum sudah dapat menstimulus perekonomian nasional. 

Baca Juga

Dari sisi eksternal, dia mengatakan posisi Indonesia masih belum sepenuhnya aman untuk menurunkan kembali suku bunganya lantaran masih tingginya eskalasi ketegangan perdagangan antar negara-negara di dunia. Juga sikap The Fed yang diproyeksikan tidak akan mengerek turun lagi bunga acuannya tahun ini. 

Sementara itu, dari sisis domestik, Rifki mengingatkan bahwa akan ada peningkatan defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada kuartal kedua tahun ini. Ini sejalan dengan kebutuhan repatriasi dividen dan pembayaran bunga utang luar negeri (ULN). 

Rifki juga mengatakan bahwa transaksi berjalan akan mendapat tekanan yang lebih berat akibat defisit neraca perdagangan barang sebesar 1,87 miliar dolar AS. Kondisi defisit neraca perdagangan ini lebih dalam ketimbang kuartal II 2018 sebesar 1,45 miliar dolar AS. 

“Defisit transaksi berjalan yang melebar juga akan lebih berat akibat adanya peningkatan defisit neraca pendapatan primer serta surplus neraca perdagangan barang yang menurun,” ungkap Rifki, Jumat (2/8).

Menurutnya, peningkatan CAD ini membuat Indonesia membutuhkan kenaikan permintaan valuta asing dalam jumlah substansial dan berpotensi menguras cadangan devisa. Rifki mengungkapkan, apabila defisit transaksi berjalan tak dapat diimbangi dengan pasokan devisa dari portofolio keuangan seperti hot money, maka neraca pembayaran Indonesia (NPI) akan semakin parah.  Hal itu akan membuat keseimbangan eksternal jomplang karena devisa yang keluar lebih banyak dibandingkan yang masuk.

Kondisi tersebut tentu juga tidak baik bagi perekonomian domestik. Oleh karenanya, dengan tetap menahan suku bunga acuan, pasar keuangan domestik akan memiliki daya saing untuk menarik arus modal asing masuk guna mengobati CAD. 

“Oleh karena itu, saya menyarankan BI untuk  tetap menahan suku bunga acuan supaya pasar keuangan domestik memiliki daya saing, ini menjadi insentif untuk menarik arus modal asing masuk di saat negara-negara lain menurunkan suku bunga acuannya,” ungkapnya 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement