Rabu 31 Jul 2019 17:19 WIB

Perpres Sawit Berkelanjutan akan Diteken Tahun Ini

Pemerintah membiayai peremajaan kebun sawit petani hingga Rp 25 juta per ha

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nidia Zuraya
Presiden Jokowi sedang meninjau kebun sawit bersama Mentan Andi Amran Sulaiman
Foto: Humas Kementan
Presiden Jokowi sedang meninjau kebun sawit bersama Mentan Andi Amran Sulaiman

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Beberapa tahun terakhir industri sawit Indonesia dibenturkan pada penolakan Uni Eropa yang akan menerapkan larangan pemanfaatan minyak kelapa sawit dan turunanya sebagai bahan pembuatan biofuel pada 2030 atas tuduhan diskriminatifnya. Untuk itu, pemerintah bakal memfinalisasi Peraturan Presiden (Perpres) sawit berkelanjutan atau Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) tahun ini untuk memperkuat sektor sawit nasional.

Seperti diketahui, ISPO ditetapkan pada tahun 2009 oleh pemerintah agar semua pihak di sektor kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang telah ditetapkan dengan tujuan untuk meningkatkan daya saing produk sawit Indonesia di pasar global. Sistem sertifikasi ISPO mengacu kepada standar internasional dan penilaian kesesuaian Komite Akreditasi Nasional (KAN).

Baca Juga

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution menjamin, Perpres ISPO bakal keluar sebelum akhir tahun ini. Sebagai catatan, Perpres tersebut rencananya bakal mewajibkan petani memiliki sertifikar ISPO yang dalam hal ini akan dibantu oleh pemerintah.

Darmin mengatakan, pemerintah berkomitmen memberikan dukungan pembiayaan peremajaan kebun sawit petani hingga Rp 25 juta per hektare.   “Rencananya (pembiayaannya) Rp 25 juta per hektare,” kata Darmin kepada wartawan, di Jakarta, Rabu (31/7).

Seperti diketahui, sambil menunggu memberi waktu terhadap pemerintah untuk melakukan pendataan perkebunan sawit nasional, pemerintah menerapkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Sawit atau moratorium sawit.

Menurut dia, dalam Perpres yang tengah digodok pemerintah nantinya akan ada ketentuan yang lebih tegas terhadap dukungan perkebunan kecil.

Usai Perpres ISPO diterbitkan, Darmin meminta kepada seluruh petani untuk memenuhi prinsip dan kriteria standar berkelanjutan ISPO.

Dia menjamin, pembiayaan yang dijanjikan pemerintah akan mencakup keseluruhan luas kebun petani. Terkait dengan persyaratannya, pemerintah akan menyelesaikan persoalan status lahan kebun sawit petani yang terindikasi berada di dalam kawasan hutan melalui Perpres Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (PPTKH).

Deputi Menko Perekonomian bidang Koordinasi Pangan Musdalifah Machmud mengatakan, Perpres ISPO saat ini masih dalam proses di Kementerian Hukum dan HAM. Rencananya, Perpres tersebut akan berlaku pararel dengan Inpres rencana aksi nasional sawit berkelanjutan.

“Kami harap tahun 2020 nanti, 60 persen data kebun sawit sudah masuk. Di 2021,kita lanjutkan pendataan bertahap,” kata dia.

Ketua Umum Kadin Rosan Roeslani mengatakan hingga saat ini sawit masih merupakan salah satu komoditas unggulan Indonesia yang dapat menjadi penyumbang devisa terbesar. Jika sekarang Industri sawit kita menemui kesulitan dalam pemasarannya, kata dia, hal itu tentu akan berefek cukup besar mulai dari hulu hingga hilir dan sektor-sektor penunjang yang menjual barang dan jasa dalam lingkup komoditas sawit.

Tak hanya dukungan dalam sertifikasi ISPO, pihaknya juga berharap agar Indonesia-EU Comprehensive Economic Agreement dapat segera terealisasi. Alasannya, dalam persaingan pasar sawit dunia, Indonesia mulai tergeser oleh Malaysia dan India yang memiliki Comprehensive Economic Cooperation Agreement India-EU, di mana tarif sawit India mendapatkan penurunan dari 54 persen menjadi 45 persen sedangkan Indonesia tetap dikenakan tarif 54 persen. Sehingga pasar sawit Indonesia dinilai direbut Malaysia. 

Menurut dia, ekspor komoditi sawit dalam beberapa tahun cukup menurun baik nilai maupun volumenya, mulai pada bulan Januari 2019. Sebelumnya, sawit Indonesia menghadapi kesulitan di pasar Uni Eropa karena Parlemen UE mengeluarkan Delegated Act Renewable Energy Directive (RED) II pada tahun 2018, yang mengusulkan penghentian konsumsi biodiesel berbasis sawit dari Indonesia.

Sebelumnya, pada April 2017, Parlemen Uni Eropa menerbitkan resolusi tentang Minyak Kelapa Sawit dan Deforestasi Hutan Hujan Tropis. Resolusi itu melarang penggunaan produk sawit asal Indonesia.

Salah satunya adalah penolakan penggunaan CPO sebagai bahan bakar kendaraan bermotor oleh Uni Eropa. Sehingga Uni Eropa akan melarang pemanfaatan minyak kelapa sawit dan turunannya sebagai bahan pembuatan biofuel pada 2030 mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement