REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, melihat permasalahan utama dari rendahnya pertumbuhan investasi di Indonesia bukanlah terkait regulasi. Salah satu faktor yang paling krusial justru efektivitas kebijakan fiskal.
"Soal deregulasi hanya bagian kecil dari faktor yang membuat investor mau masuk ke Indonesia," ujar Bhima, Senin (15/7).
Untuk menggairahkan investasi di Indonesia, diperlukan desain insentif pajak yang tepat sasaran. Menurut Bhima, insentif pajak yang ada sekarang masih kurang spesifik dan tidak tepat sasaran. Misalnya saja insentif tax holiday bagi sektor migas.
Pemerintah memberikan insentif berupa pembebasan pajak selama 20 tahun untuk investasi sebesar Rp 30 triliun. Insentif ini dinilai kurang tepat karena investasi disektor migas rendah.
Selain itu, menurut Bhima, defisit neraca migas pun cukup besar. Pada semester pertama tahu ini, BPS merilis defisit migas tembus 4,7 miliar dolar AS. Sehingga, butuh waktu lama untuk bisa merasakan efek insentif.
"Semakin jor-joran dalam jangka pendek rasio pajak melorot, belum tentu ekonomi tumbuh sesuai harapan," tutur Bhima.
Menurut Bhima, insentif pajak yang dibutuhkan untuk menumbuhkan investasi harus bersifat spesifik dan jemput bola. Di sektor tekstil misalnya, investor lebih membutuhkan keringanan bea masuk untuk bahan baku tekstil. Kemudian diskon tarif listrik di jam sibuk yakni 08.00-16.00.
Selain itu, faktor lainnya yang juga mempengaruhi pertumbuhan investasi yaitu terkait pembebasan lahan, ketersediaan bahan baku, pembangunan infrastruktur industri, hingga stabilitas makro ekonomi dan politik.