Sabtu 13 Jul 2019 10:30 WIB

Kasus Pelanggaran Data, Facebook Didenda Rp 70 Triliun

Komisi Perdagangan menyelidiki tuduhan penggunaan 87 juta data pengguna Facebook.

Rep: Idealisa Masyrafina/ Red: Friska Yolanda
Facebook.
Foto: AP
Facebook.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Regulator AS telah menyetujui rekor denda 5 miliar dolar AS atau Rp 70 triliun untuk Facebook terkait pelanggaran data privasi. Komisi Perdagangan Federal (FTC) telah menyelidiki tuduhan bahwa konsultasi politik Cambridge Analytica secara tidak benar memperoleh data hingga 87 juta pengguna Facebook.

Penyelesaian itu disetujui oleh FTC dengan suara 3-2. Sementara Facebook dan FTC menolak berkomentar. FTC mulai menyelidiki Facebook pada Maret 2018, menyusul laporan bahwa Cambridge Analytica telah mengakses data puluhan juta penggunanya.

Baca Juga

Investor menyambut gembira berita tentang kesepakatan dan mendorong saham Facebook naik 1,8 persen. Sementara beberapa anggota parlemen Demokrat yang kuat di Washington mengutuk sanksi yang diusulkan sebagai tidak memadai.

Denda tersebut masih harus diselesaikan oleh divisi sipil Departemen Kehakiman. Seorang sumber mengatakan tidak jelas berapa lama ini akan berlangsung.

Namun, jumlahnya turun sesuai dengan perkiraan Facebook, yang awal tahun ini mengatakan pihaknya mengharapkan denda hingga 5 miliar dolar AS. Jika dikonfirmasi, itu akan menjadi denda terbesar yang pernah dipungut oleh FTC pada perusahaan teknologi.

Perwakilan David Cicilline, seorang Demokrat dan ketua panel antimonopoli kongres, menyebut sanksi 5 miliar dolar AS itu merupakan hadiah Natal lima bulan lebih awal. “Denda ini adalah sebagian kecil dari pendapatan tahunan Facebook. Itu tidak akan membuat mereka berpikir dua kali tentang tanggung jawab mereka untuk melindungi data pengguna, "katanya.

Pendapatan Facebook untuk kuartal pertama tahun ini adalah 15,1 miliar dolar AS, sedangkan laba bersihnya adalah 2,43 miliar dolar AS. Nilai itu akan lebih tinggi, tetapi Facebook menyisihkan 3 miliar dolar AS untuk penalti FTC. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement