REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pertemuan para pemimpin lembaga keuangan dari negara-negara anggota G-20 di Buenos Aires, Argentina, kembali menyoroti masalah perpajakan. Dalam pertemuan itu, mereka membahas soal keinginan untuk menciptakan keadilan pajak ekonomi digital.
Fokus pembahasan dilakukan karena perkembangan ekonomi digital telah memengaruhi penerimaan pajak di setiap negara. Perusahaan-perusahaan berbasis digital yang beroperasi global seperti Google, Facebook, dan Twitter mendapatkan penghasilan dari seluruh negara di dunia.
Namun, setoran pajak dari perusahaan tersebut cenderung minim di negara yang menjadi tujuan pemasaran produk mereka. Di Indonesia, pemerintah tengah menunggu hasil studi the Organisation for Economic Co-operation and Development (OCED) untuk menetapkan skema pengenaan pajak bagi industri digital.
Melihat kemajuan dalam pembahasan konsep pemajakan ekonomi digital, Institue for Development of Economics and Finance (Indef) menilai, selama ini pemerintah kesulitan mengenakan pajak bagi industri digital lantaran menentukan biaya dan penerimaan pajak yang sifatnya lintas batas, khususnya antara negara. Hal ini dikarenakan semua negara juga terlibat termasuk negara yang menginisasi produk digital seperti Facebook, Google, dan sebagainya.
“Misalnya tiga hingga enam perusahaan besar antarnegara berkolaborasi dalam membuat produk digital agar meminimalisir biaya dan membuat keuntungan. Sulit untuk menghitungnya. Ini menjadi masalah belum ada kesepakatan antar negara-negara tersebut yang memiliki kepentingan berbeda,” ujar Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad ketika dihubungi Republika, Jumat (12/7).
Menurut dia, Pemerintah Indonesia harus berupaya menangani persoalan digital tax khususnya tugas dan fungsi lewat Direktorat Jendral Pajak yang baru dibentuk, tidak hanya berbicara daya saja. Namun, beban pajak digital antara negara yang cenderung tidak mudah disepakati.
“Misalnya Uni Eropa mengusulkan tingkat pajak 3 persen, namun negara lain yang berhubungan dengan perusahaan yang operasionalnya ada di Indonesia bisa lebih tinggi ataupun rendah,” ungkapnya.
Tauhid juga mengakui pemerintah sulit mengenakan pajak digital lantaran menentukan batas skala perusahaan, untuk ditentukan tarif pajaknya. Semisal antara perusahaan digital internasional (skala besar) atau justru dengan pelaku-pelaku lokal (skala kecil) yang perlu diterapkan pajaknya karena dua-duanya lintas batas negara.
“Beberapa waktu lalu pemerintah menerapkan pajak digital sebesar 1 persen dengan ukuran omset tertentu namun dibatalkan karena akan merugikan UMKM dan juga industri yang offline,” ungkapnya.
Untuk itu, ke depan pihaknya menyarankan pemerintah harus membentuk kesepakatan dengan pelaku usaha digital dalam negeri dan luar negeri tentang tarif pajak yang tidak memberatkan. Meski, beban satu persen terkesan ringan, namun valuenya sangat besar karena volumenya jutaan.
“Kedua sosialisasi pada pelaku usaha secara masiif agar memang tidak memberatkan merreka. Langkah ini ditindaklnjuti dengan membangun basis data dengan identifikasi pelaku usaha digital,” ucapnya.