Senin 08 Jul 2019 07:17 WIB

Petambak Sebut Penyerapan Garam oleh Industri Menurun

Pada Juni-Juli tahun ini, belum ada industri yang melakukan penyerapan garam lokal.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Dwi Murdaningsih
Petani melakukan panen garam di Desa Konang, Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (7/8). Harga garam ditingkat petani di Madura turun dari bulan Juni lalu yaitu Rp 2.1 juta menjadi Rp1.1 juta hingga Rp1.3 juta per ton karena mulai musim panen
Foto: Saiful Bahri/Antara
Petani melakukan panen garam di Desa Konang, Pamekasan, Jawa Timur, Selasa (7/8). Harga garam ditingkat petani di Madura turun dari bulan Juni lalu yaitu Rp 2.1 juta menjadi Rp1.1 juta hingga Rp1.3 juta per ton karena mulai musim panen

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Persatuan Petambak Garma Indonesia (PPGI) menyebut, intensitas penyerapan garam oleh industri pada tahun ini cenderung berkurang. Industri yang dimaksud yakni industri aneka pangan.

Sekretaris Jenderal PPGI, Waji Fatah Fadhilah mengatakan, pada periode Juni-Juli tahun ini, belum ada perusahaan industri yang melakukan penyerapan garam lokal. Hal itu terutama terjadi di sentra-sentra garam wilayah Jawa Barat. Karena itu, petambak baru sekadar mengandalkan penjualan untuk mereka yang membutuhkan garam konsumsi masyarakat.

Baca Juga

"Biasanya kita persiapan panen di bulan Mei, lalu bulan Juni-Juli sudah mulai banyak perusahaan yang datang. Nah, tahun ini belum ada," kata Waji saat dihubungi Republika.co.id, Ahad (7/7).

Menurut Waji, dalam kondisi normal pada bulan Juni-Juli, garam milik petambak dibeli oleh industri sekitar 15-20 persen dari total produksi kelompok petambak. Tidak adanya penyerapan itu yang menjadi salah satu penyebab rendahnya harga garam.

"Tahun lalu penyerapan itu selalu berkelanjutan sepanjang tahun. Ini sudah ratusan petambak yang panen belum ada," kata dia menegaskan.

PPGI mencatat biaya produksi garam per kilogramnya sekitar Rp 350. Namun, harga garam di tingkat petambak hanya Rp 400 per kilogram (kg).  Rendahnya harga terjadi di sentra garam wilayah Nusa Tenggara Timur, Sulawesi Tengah, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Sementara, rerata harga garam di Nusa Tenggara Barat masih sekitar Rp 600-700 per kg.

Pihaknya memaklumi, penyerapan garam petambak baru dilakukan oleh sektor industri aneka pangan karena tingkat kualitas garam yang belum memenuhi kriteria industri selain aneka pangan. Hal itu dikarenakan sistem budidaya garam saat ini masih tradisional.

Sebelumnya, Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) menjelaskan, penyerapan garam lokal oleh industri saat ini memang baru dilakukan oleh sektor aneka pangan. Hal itu membuat penyerapan garam milik petambak untuk kebutuhan industri di Tanah Air belum dapat maksimal.

Sekretaris Jenderal AIPGI, Cucu Sutara, mengatakan, tahun ini industri aneka pangan hanya mendapatkan jatah impor sebesar 360 ribu ton dari kuota impor garam industri tahun 2019 sebesar 2,7 juta ton. Sisanya, kebutuhan industri aneka pangan dipenuhi dari pasokan lokal sebesar 1,12 juta ton.

Alokasi penyerapan garam lokal tersebut telah dituangkan dalam nota kesepahaman yang diteken pada tahun lalu. Dimana, penyerapan bakal dilakukan mulai Juli 2018 hingga Juni 2019.

Komitmen jumlah penyerapan itu juga telah dinyatakan oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan baru terealisasi sebesar 960 ribu ton. Cucu menegaskan, pihaknya bakal menuntaskan komitmen realisasi pada bulan ini.

"Hanya industri aneka pangan yang menyerap garam lokal. Makanya kita usulkan ke pemerintah agar ada komitmen teman-teman importir maupun industri sektor lainnya untuk berpikir bersama bagaimana kita bisa memberdayakan para petambak," katanya.

Ia menilai, industri sektor lain perlu dilibatkan oleh pemerintah agar dapat menggunakan garam lokal. Namun, jika hal itu belum dapat dilakukan dengan alasan kualitas garam lokal yang belum memenuhi standar, Cucu mengusulkan agar ada proyek percontohan yang melibatkan petambak untuk menghasilkan garam berkualitas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement