REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Kekeringan yang melanda areal pertanian di berbagai daerah di Kabupaten Indramayu, memaksa petani harus memutar otak untuk menyelamatkan tanaman padi milik mereka. Untuk lahan yang lokasinya dekat dengan saluran irigasi ataupun saluran pembuang, maka penyedotan air dengan menggunakan mesin pompa menjadi satu-satunya jalan.
Namun, untuk menyedot air, dibutuhkan bahan bakar minyak (BBM) yang tidak sedikit guna menghidupkan mesin pompa. Hal itu dipastikan membuat petani harus merogoh kocek lebih dalam.
Menghadapi situasi sulit tersebut, seorang petani di Desa Kendayakan, Kecamatan Terisi, Wardani, berinovasi menjadikan gas elpiji tiga kilogram sebagai bahan bakar mesin pompanya. Dengan cara itu, bisa bisa menghemat biaya yang harus dikeluarkan untuk mengairi areal persawahannya.
Dengan kreativitasnya, Wardani memodifikasi mesin diesel penyedot air yang semestinya berbahan bakar premium menjadi berbahan bakar gas elpiji. Untuk modifikasi mesin itu, biaya yang harus dikeluarkannya sangat murah, yakni Rp 55 ribu.
Uang Rp 55 ribu itu digunakan Wardani untuk membeli onderdil tambahan seperti regulator, stop kran, selang dan klip pengunci selang. Tak sulit untuk mendapatkan onderdil-onderdil tambahan tersebut. Barang-barang itu bisa dengan mudah dibeli di toko, swalayan bahkan pasar tradisional.
"Onderdil-onderdil itu hanya perlu dirangkai hingga saling berhubungan. Tapi cara itu tidak sampai merubah komposisi mesin secara keseluruan,’’ kata Wardani, saat ditemui akhir pekan kemarin.
Setelah terangkai dengan baik, mesin pompa penyedot air berbahan bakar gas elpiji pun siap digunakan. Daya sedot mesin itupun tak kalah jika dibandingkan dengan mesin pompa berbahan bakar premium.
Untuk mengairi sawahnya, Wardani membutuhkan waktu penyedotan sekitar tujuh jam. Selama penyedotan air itu, mesin pompanya menghabiskan sekitar tujuh liter premium. Namun dengan menggunakan mesin pompa air berbahan bakar gas elpiji, hanya membutuhkan satu tabung gas elpiji.
"Jadi lebih irit tiga kali lipat dibandingkan menggunakan bahan bakar premium,’’ tutur Wardani.
Sementara itu, berdasarkan data dari Dinas Pertanian Kabupaten Indramayu periode 1-15 Juni 2019, luas lahan yang mengalami kekeringan di Kabupaten Indramayu mencapai 3.978 hektare, yang tersebar di 13 kecamatan. Kondisi kekeringan paling parah terjadi di Kecamatan Kandanghaur seluas 1.592 hektare, Kecamatan Losarang 823 hektare, Cikedung 385 hektare, Kroya 369 hektare, Cantigi 220 hektare dan Gabuswetan 202 hektare.
Kondisi kekeringan itu terdiri dari kekeringan ringan, kekeringan sedang dan kekeringan berat. Selain lahan yang kekeringan, adapula lahan seluas 9.722 hektare yang terancam kekeringan.
"Untuk lahan yang puso, baru 28 hektare,’’ ujar Kepala Bidang (Kabid) Tanaman dan Pangan Dinas Pertanian (Distan) Kabupaten Indramayu, A Yani, saat ditemui di Kantor Distan Kabupaten Indramayu, Kamis (27/6) lalu.
Yani mengatakan, pemerintah daerah sudah mengupayakan untuk mengatasi kondisi kekeringan tersebut. Di antaranya dengan pembuatan jadwal gilir air maupun mengajukan penambahan debit air kepada pihak BBWS Cimanuk Cisanggarung.
Terpisah, Bupati Indramayu, Supendi, mengungkapkan kekeringan yang terjadi di daerah yang dipimpinnya disebabkan masalah yang cukup kompleks. Selain terbatasnya air, sejumlah saluran irigasi pun dalam kondisi rusak, seperti ambles maupun jebol.
Menurut Supendi, proses perbaikan saluran yang rusak itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Selain itu, selama proses perbaikan berlangsung, air pun tidak bisa mengalir ke saluran tersebut sehingga mengganggu pasokan air ke sawah. Karenanya, dengan kendala-kendala tersebut, dia mengakui upaya penyelamatan kemungkinan tidak bisa mencakup seluruh lahan yang kekeringan.
"Mungkin tidak akan semuanya bisa terselamatkan,’’ tutur Supendi.
Di sisi lain, Supendi juga meminta kepada para petani agar disiplin dalam menjalankan pola tanam. Seperti di musim tanam gadu ini, saat daerah yang masuk golongan satu belum mulai menggarap lahan, daerah yang masuk golongan tiga justru sudah mulai garap terlebih dulu. Hal itu akhirnya berdampak pada pasokan air.