Sabtu 06 Jul 2019 00:20 WIB

Pangsa Pasar Besar, Waralaba Nasional Belum Maksimal

Bisnis waralaba tahun lalu tidak menunjukkan perkembangan alias stagnan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Penertiban Reklame. Petugas Satpol PP membongkar reklame waralaba tak berizin di Sleman, Yogykarta, Selasa (21/5/2019).
Foto: Republika/ Wihdan
Penertiban Reklame. Petugas Satpol PP membongkar reklame waralaba tak berizin di Sleman, Yogykarta, Selasa (21/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Tingginya pasar waralaba terutama di kalangan kelas menengah dan berusia muda, belum dapat bertumbuh signifikan. Jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga Indonesia seperti Malaysia, Filipina, dan Singapura, bisnis waralaba di Indonesia masih belum maksimal.

Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) Anang Sukandar mengatakan, konsep waralaba cocok untuk diterapkan di Indonesia. Mengingat, mayoritas masyarakat Indonesia sebesar 70-80 persen mengaku tertarik dengan konsep self employee. Mayoritas masyarakat tersebut, kata dia, berada di wilayah perdesaan sehingga dapat menumbuhkan ekonomi kerakyatan. Namun begitu, usaha waralaba di Indonesia dinilai belum sepenuhnya optimal.

“Kita mengarahkan pelaku bisnis yang unggul untuk waralaba, bukan yang asal-asalan. Sejujurnya, kenapa Indonesia masih tertinggal (waralabanya) dengan negara tetangga, karena masih banyak yang asal-asalan,” kata Anang, di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta, Jumat (5/7).

Anang menjabarkan, pertumbuhan industri waralaba tahun lalu berada di posisi stagnan atau nol persen. Menurut dia, yang kebanyakan terjadi adalah adanya skema bisnis dengan sistem waralaba yang dibungkus dengan nama kemitraan. Salah satu sektor yang kerap disusupi waralaba dengan nama kemitraan adalah sektor makanan dan minuman.

Menurut dia, yang disebut dengan waralaba adalah jenis usaha yang sudah berjalan setidaknya lima tahun. Hal itu dilandasi dengan penetapan dan pergerakan usaha yang matang di lapangan. Maka, kata dia, waralaba tak bisa diartikan sebagai bisnis yang baru dua tahun bahkan hanya tiga bulan dijalankan.

“Maka pertanyaan yang pertama saya ajukan adalah, usaha ini sudah berjalan sejak kapan? Lalu kita juga perlu tahu siapa pendirinya, kita ingin wawancarai supaya lebih konkret,” kata Anang.

Selain dua aspek tadi, bisnis waralaba dinilai Anang juga perlu ditinjau dari ciri khas sektor usaha yang digeluti. Kemudian, pihaknya juga akan menelusuri ada atau tidaknya gerai usaha tersebut yang bisa dikunjungi dan menunjukkan neraca rugi dan labanya. Lebih lanjut dia menjelaskan, pengaruh eksternal yang memperlambat pertumbuhan waralaba adalah ketersediaan modal.

Untuk itu dia mengimbau kepada pemerintah untuk melakukan upaya yang dapat meringankan beban para pelaku waralaba. Dia menjabarkan, bantuan dari pemerintah terhadap bisnis waralaba baru dimulainya pemberian booth pameran. Kendati demikian, pihaknya mendorong pemerintah untuk dapat memberikan pembinaan dan pendampingan sehingga sektor waralaba dapat dibenahi.

Dia menargetkan, di tahun depan pertumbuhan warlaba diharapkan bisa mencapai 2 persen. Meski, angka tersebut menurut dia sulit untuk direalisasikan jika aspek-aspek penghambat pertumbuhan waralaba belum dibenahi secara signifikan.

Berdasarkan catatannya, saat ini secara keseluruhan terdapat 120 waralaba lokal yang menjadi anggota AFI. Sedangkan waralaba asing secara keseluruhan yang ada di Indonesia berjumlah 480 pemain. Dia menambahkan, terdapat business opportunity di Indonesia yang mencapai hingga 2 ribuan.

Terkait dengan maraknya penutupan ritel yang terjadi baru-baru ini, Anang menyebut sektor waralaba memiliki perbedaan yang krusial dari ritel. Aspek keunikan dari bisnis waralaba dinilai menjadi magnet tersendiri yang tidak dapat ditiru oleh ritel sehingga masih terdapat kemungkinan pertumbuhan nilai ekonominya.

Sekretaris Jenderal Kementerian Perdagangan (Kemendag) Karyanto Suprih mengatakan, pemerintah berkomitmen mendorong pertumbuhan sektor bisnis waralaba. Bahkan, kata dia, pemerintah telah mendorong pelaku waralaba lokal untuk dapat berekspansi ke kancah nasional.

“Potensi pasarnya kan luas, maka kita dorong ini (waralaba) lokal untuk berekspansi ke luar negeri,” kata Karyanto.

Dia mengklaim, pertumbuhan ekonomi sektor waralaba domestik saat ini sudah mencapai 10 persen. Adapun bisnis waralaba makanan dan minuman, kata dia, masih mendominasi pergerakan bisnis tersebut. Ke depannya, dia menargetkan pertumbuhan waralaba dapat menyentuh di atas 10 persen.

Karyanto menjabarkan, pangsa pasar waralaba dapat mendorong sektor tersebut di bidang jasa terutama di bidang makanan dan minuman. Berdasarkan catatan Kemendag, sektor waralaba dalam negeri mencakup makanan dan minuman sebesar 41,2 persen, jasa pendidikan sebesar 11 persen, salon dan spa sebesar 13,2 persen, ritel sebesar 17,6 persen, dan sektor lainnya sebesar 16,2 persen.

Masih mengacu data tersebut, sektor waralaba di luar negeri antara lain makanan dan minuman sebesar 66,2 persen, ritel sebesar 12,7 persen, jasa pendidikan sebesar 9,9 persen, dan sektor lainnya mencapai 8,9 persen. Adapun beberapa waralaba lokal yang berada di luar negeri antara lain Alfamart 174 gerai, J.CO Coffee and Donut sebanyak 60 gerai, dan Kebab Turki Baba Rafi sebesar 60 gerai. Persebaran waralaba lokal tersebut berada di lingkup Asia hingga Eropa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement