Kamis 04 Jul 2019 06:45 WIB

Pengembangan EBT di Indonesia Masih Terbuka Lebar

Pemerintah Indonesia saat ini terus terlibat aktif dalam kebijakan EBT.

Energi terbarukan/ilustrasi.
Foto:

Terkait target tersebut, saat ini Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga tengah menggodok Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Terbarukan (RUU EBT). RUU EBT ini menjadi langkah untuk segera meninggalkan ketergantungan terhadap energi fosil, dan beralih ke energi baru terbarukan, sebutlah geothermal.

Menurut Wakil Ketua Komisi VII DPR-RI Ridwan Hisyam, materi RUU ini sudah masuk Prolegnas dan diharapkan sudah mulai dibahas oleh anggota DPR baru pada Oktober nanti.

Menurut dia sementara sebelum undang-undang itu ada, sebaiknya Kementerian ESDM lebih fokus mendorong program-program EBT.

Wanhar mengakui, peluang Pengembangan EBT di Indonesia masih terbuka lebar. Beberapa kondisi yang memperlihatkan peluang tersebut di berbagai daerah.

Seperti rasio elektrifikasi di daerah Timur Indonesia masih bisa ditingkatkan, harga solar panel yang akan semakin kompetitif, pembangunan PLTB skala kecil yang cocok untuk daerah kepulauan, feedstock (untuk biomass/biogas) masih melimpah di beberapa daerah.

Kemudian pertimbangan lain keterlibatan masyarakat dalam penyediaan feedstock, penerapan teknologi mesin diesel dengan bahan bakar nabati (BBN), proyek hidro masih efisien sehingga tarif di sekitar biaya pokok penyediaan (BPP) masih dapat diterima.

Perjanjian jual beli tenaga listrik panas bumi dilakukan setelah ada cadangan terbukti/hasil eksplorasi, serta peningkatan penerasi EBT melaluai smart grid dan control system.

Namun begitu, pengembangan EBT juga menghadapi beberapa tantangan. Seperti BPP di beberapa wilayah Indonesia yang sudah relatif rendah, sehingga harga keekonomian pembangkit EBT umumnya di atas BPP.

Beberapa daerah memiliki kapasitas terpasang yang kecil sehingga pembangkit EBT intermittent (PLTS dan PLTB) hanya mendapatkan porsi/kuota MW yang kecil.

Sebaliknya, ada juga daerah yang sulit menerima EBT karena alasan sudah terjadi over supply. Selain itu daerah yang memiliki potensi energi yang baik relatif sedikit, namun dengan harga merujuk ke BPP dirasa kurang menarik bagi pengembang. Di luar itu, biaya eksplorasi (PLTP) terutama untuk drilling yang cukup besar ternyata, rasio tingkat keberhasilannya kecil.

Sampai saat ini, jelas Wanhar, Pemerintah sudah menandatangani beberapa komitmen terkait pengembangan EBT. Dalam Progres IPP PPA Tahun 2017 s.d. 2018 terdapat 75 kontrak yang sudah melakukan penandatanganan pembangkit EBT (PPA) dengan rincian 7 tahap COD, 32 tahap konstruksi, dan 36 dalam proses persiapan financial close.

 

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement