REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Riset, Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawadaya, menyebut sektor farmasi di Indonesia masih menemui kendala dalam menarik investor asing. Biaya perizinan yang mahal dan proses yang cukup memakan waktu menjadi salah satu alasan investor enggan masuk ke sektor farmasi.
Menurut Berly, Pemerintah perlu memberikan insentif agar investasi di sektor farmasi bisa tumbuh. Dia menambahkan, insentif ini sangat dibutuhkan mengingat biaya operasional di Indonesia yang relatif tinggi.
"Jadi dengan cost kita yang cukup tinggi dari segi cost operation maka insentif juga perlu disesuaikan," ujar Berly, Selasa (2/7).
Berly menilai, pemerintah masih kurang tepat dalam pemberian insentif. Pasalnya, menurut Berly, insentif yang ada saat ini kurang cocok diberikan untuk industri farmasi. Berly menambahkan, industri farmasi membutuhkan insentif selain tax holiday dan tax allowance yang selama ini menjadi andalan pemerintah.
Berly mengatakan, salah satu insentif yang bisa diberikan pemerintah yaitu insentif untuk riset. Di negara tetangga, lanjut Berly, insentif riset diberikan cukup besar sehingga investor asing tertarik untuk masuk.
Selain itu, menurut Berly, persoalan infrastruktur juga menjadi hal yang perlu diprioritaskan. Sebagai contoh, investasi di negara tetangga seperti Malaysia, Singapura dan Thailand tumbuh baik karena sudah didukung oleh infrastruktur transportasi dan kelistrikan yang memadai.
Tidak hanya itu, tantangan lainnya yang juga dinilai cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan investasi asing di sektor farmasi yaitu adanya regulasi Permenkes Nomor 1010. Permenkes tersebut mensyaratkan bahwa registrasi obat hanya boleh dilakukan oleh industri farmasi yang melakukan produksi dalam negeri. Kebijakan ini pun membuat perusahaan asing sulit memasuki pasar obat Indonesia.