REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Mei 2019 mengalami surplus sebesar 210 juta dolar AS. Kondisi tersebut berasal dari surplus non migas sebesar 1,19 miliar dolar AS. Sedangkan, neraca dagang migas masih mengalami defisit, yakni 977 juta dolar AS.
Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, kondisi tersebut menjadi sinyal positif bagi perekonomian domestik Indonesia. Ke depan, ia berharap neraca dagang dapat semakin membaik dengan berbagai kebijakan pemerintah. "Terutama yang dikerahkan lintas kementerian dan lembaga," ujarnya dalam konferensi pers mengenai kinerja neraca dagang di kantornya, Jakarta, Senin (24/6).
Kondisi neraca dagang pada Mei 2019 lebih membaik dibanding dengan tahun lalu. Berdasarkan data BPS, neraca dagang Mei 2018 mencatatkan defisit hingga 1,46 miliiar dolar AS. Tapi, dibanding dengan Mei 2017 yang mencatatkan surplus 560 juta dolar AS, neraca dagang Mei 2019 masih lebih tertinggal.
Di sisi lain, neraca dagang akumulasi pada Januari hingga Mei 2019 masih mengalami defisit 2,14 miliar dolar AS. Hal ini terjadi karena migas masih mengalami defisit hingga 3,7 miliar dolar AS. Padahal, neraca dagang non migas sudah mengalami surplus 1,60 miliar dolar AS.
Apabila dirinci, penyebab dari defisit pada neraca dagang migas adalah minyak mentah dan hasil minyak. Keduanya mengalami defisit masing-masing 1,57 miliar dolar AS dan 5,24 miliar dolar AS apabila diakumulasi dari Januari hingga Mei 2019. Sedangkan, gasnya masih surplus yakni 3,07 miliar dolar AS.
Dengan kondisi tersebut, Suhariyanto menekankan, Indonesia masih memiliki pekerjaan rumah untuk memperbaiki neraca dagang. Pemerintah harus berupaya menggenjot ekspor dengan berbagai cara, termasuk untuk mengurangi ekspor berbasiskan komoditas. "Harus hilirisasi, diversifikasi pasar dan produk serta memberikan berbagai insentif untuk mendorong ekspor," ucapnya.
Di satu sisi, Suhariyanto menambahkan, hampir semua pihak sepakat bahwa upaya pengendalian impor yang sudah dilakukan pemerintah menjadi solusi tepat. Hal ini memperhatikan ekonomi global yang masih dipenuhi ketidakpastian, fluktuasi harga komoditas dan bahkan cenderung menurun.
Sebelumnya, BPS mencatat, neraca perdagangan April 2019 mengalami defisit sebesar 2,5 miliar dolar AS. Defisit tersebut berasal dari defisit neraca dagang migas 1,49 miliar dolar AS maupun non migas 1,0 miliar dolar AS. Dikutip dari Trading Economics, nilai defisit tersebut merupakan 'terdalam sepanjang catatan statistik yang ada’.
Pada 1960 hingga 2019, rata-rata nilai neraca dagang di Indonesia adalah 738 juta dolar AS. Surplus tertinggi diraih pada Desember 2006 dengan nilai 4,64 miliar dolar AS.
Sedangkan, sebelumnya, rekor defisit terdalam terjadi pada Juli 2013 dengan nilai 2,32 miliar dolar AS sebelum akhirnya ‘dikalahkan’ oleh defisit April 2019.