REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Momentum pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) dan bonus pegawai/karyawan memberikan dampak signifikan terhadap penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 pada Mei 2019. Sampai dengan akhir Mei, penerimaannya mencapai Rp 65,22 triliun, tumbuh hingga 22,49 persen dibanding dengan tahun lalu.
Pertumbuhan tersebut juga lebih tinggi dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu, yakni 15,5 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani menilainya sebagai suatu pertanda positif dari segi lapangan kerja. "PPh ini berasal dari gaji upah karyawan, berarti pertumbuhannya menggambarkan bahwa job creation positif dan pekerja eksis mendapatkan kenaikan," ujarnya ketika konferensi pers mengenai kinerja APBN di kantornya, Jakarta, Jumat (21/6).
Penerimaan PPh pasal 21 sebenarnya telah tumbuh double digits sejak periode Januari hingga April tahun ini, yaitu 12,09 persen. Hal itu didorong oleh solidnya kondisi ketenagakerjaan.
Apabila dilihat dari penerimaan bulanan, terdapat peningkatan hingga 53,87 persen (yoy) dibanding dengan penerimaan bulan Mei 2018 dan 69,71 persen (mom) jika dibandingkan April 2019. Peningkatan itu diperkuat efek pergeseran (time shifting) penyetoran pajak lebih awal.
Jatuh tempo pembayaran PPh pasal 21 adalah tanggal 10 bulan berikutnya. Artinya, pembayaran pajak atas gaji, THR atau bonus yang dibayarkan bulan Mei paling lambat disetor ke kas negara pada 10 Juni. Tapi, cukup banyak wajib pajak yang melakukan penyetoran pada Mei, sebelum pelaksanaan libur dan cuti bersama Lebaran.
Pengaruh Ramadhan dan Idul Fitri juga terlihat pada jenis pajak PPh pasal 22. Sampai Mei, penerimaannya tumbuh 14,65 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Angka ini naik dibandingkan periode Januari sampai April 2019 yang tumbuh 10,50 persen.
Menurut catatan Kemenkeu, pendorong utama peningkatan itu berasal dari sektor industri ketenagalistrikan dan industri bahan bakar. Hal itu mencerminkan peningkatan penggunaan energi serta tingginya konsumsi BBM untuk mudik ataupun perjalanan saat Idul Fitri.
Sri menambahkan, PPh orang pribadi juga masih memiliki momentum positif, yakni tumbuh 14,5 persen dengan total Rp 7,62 triliun. "Meski kontribusi terhadap keseluruhan penerimaan pajak hanya 1,5 persen, pertumbuhannya yang terus double digit diharapkan dapat memberi dampak besar nantinya," ujarnya.
Sementara itu, PPh badan juga tumbuh, namun dengan angka lebih kecil, yaitu 5,07 persen (yoy). Angka tersebut turun signifikan dibanding dengan pertumbuhan tahun lalu yang dapat menyentuh 27 persen.
Dari segi konsumsi, Sri menambahkan, kinerja PPN Dalam Negeri sampai dengan Mei masih menunjukkan perlambatan. Angka pertumbuhannya negatif 5,47 persen (yoy), merosot tajam dari pertumbuhan tahun lalu, 96,64 persen. Tapi, apabila dikesampingkan efek dari program percepatan restitusi, penerimaannya secara bruto sampai Mei masih tumbuh 7,65 persen.
Poin yang patut diwaspadai juga adalah PPh impor, di mana pertumbuhannya 0,6 persen. Kondisi tersebut drop dari tahun lalu yang mencapai 30,5 persen. Menurut Sri, perlambatan pertumbuhan ini mencerminkan bahwa komponen impor.
Kondisi tersebut patut diwaspadai karena memiliki dua konsekuensi. Apabila memang dapat disubstitusi dari produksi dalam negeri, berarti menunjukkan kinerja positif. "Tapi, kalau tidak ada substitusi, manufaktur akan alami perlemahan pada kuartal selanjutnya mengingat bahan baku yang menurun," ujar Sri.