Jumat 21 Jun 2019 07:35 WIB

BCA: Suku Bunga Acuan Dapat Turun Bulan Depan

BI perlu mempertahankan suku bunga acuan untuk menjaga likuiditas dan situasi politik

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolanda
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja (kedua kanan).
Foto: ANTARA FOTO/Aprillio Akbar
Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja (kedua kanan).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Utama PT Bank Central Asia (BCA) Tbk Jahja Setiaadmadja menyampaikan Bank Indonesia (BI) dapat menurunkan suku bunga acuan pada bulan depan. Ia menilai untuk bulan ini BI masih harus mempertahankan 7 Days Reverse Repo Rate di level 6,00 persen karena likuiditas dan situasi politik.

"Sebenarnya kalau lihat kondisi eksternal ada tendensi untuk turun, The Fed juga harapannya sampai September turun 0,25 persen, tapi Indonesia bergantung ketersediaan likuiditas pasar keuangan," kata dia di Jakarta, Kamis (20/6). 

Baca Juga

Saat ini, Loan to Deposit Ratio (LDR) industri tercatat sebesar 94 persen. Jahja mengatakan kebijakan BI telah efektif dalam mengawal ketersediaan likuiditas dengan Repo. Meski, Repo hanya menjaga likuiditas jangka pendek.

Menurut Jahja, kebijakan selanjutnya akan tergantung apakah perbankan diharapkan tetap terus meningkatkan kredit yang tinggi sekali atau tidak. Meski kemarin Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sudah memberi tanda dengan mengoreksi target pertumbuhan kredit dari 12 persen menjadi 9-11 persen. 

Dengan target kredit yang tidak terlalu agresif, likuiditas bisa turun. Berbeda dengan OJK, BI tampak tetap optimistis dengan berharap pada peningkatan kredit. Sehingga memutuskan penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) perbankan demi meningkatkan likuiditas sehingga bisa disalurkan pada kredit.

Jahja juga menilai, selain faktor likuiditas perbankan, suku bunga acuan bergantung pada kondisi politik dalam negeri. Keputusan sidang Mahkamah Konstitusi (MK) memberikan sedikit ketidakpastian pada kondisi ekonomi.

"Jadi menurut saya bulan ini tahan dulu, bulan depan boleh turun, ya sekitar 0,25 persen," kata dia.

Jahja menambahkan penurunan suku bunga acuan pun kemungkinan tidak akan berdampak otomatis pada penurunan suku bunga kredit masing-masing bank. Ini akan tetap tergantung pada kondisi masing-masing bank dalam likuiditas dan minat ekspansi. 

"Jika bank memiliki persediaan Surat Berharga Negara tinggi, bank bisa Repo cukup banyak, yang masih miliki Dana Pihak Ketiga tinggi bisa langsung turunkan (bunga), tapi kalau Loan to Deposit Ratio (LDR) mepet, 99-100 persen kemudian tidak punya dana murah (CASA), tidak mungkin mereka turunkan," kata Jahja.

Ia menilai, suku bunga turun juga belum mendesak karena pertumbuhan DPK masih sebesar enam persen. Menurut Jahja, tingkat suku bunga bisa turun jika pertumbuhan DPK naik ke level 9-10 persen.  

"Saya baca ibu Sri Mulyani juga coba menggairahkan kredit, kalau itu menarik, DPK bisa naik ke 9-10 persen, saya pikir pada tingkat itu bunga bisa turun, api pada tingkat ini ya harus benar-benar diteliti sekali," kata dia.

Jahja juga menilai perbankan butuh stimulus untuk menambah likuiditas pasar. Salah satu yang paling mudah dan memungkinkan adalah penurunan Giro Wajib Minimum (GWM) yang akan berefek langsung. 

Meski demikian, tetap ada kekhawatiran jangan sampai itu menimbulkan spekulasi pada nilai tukar rupiah. Ia menilainya tidak mudah untuk menurunkan GWM dengan tetap mengendalikan likuiditas untuk menunjang kredit.

"Kalau enggak nanti pembelian dolar AS yang berlebihan itu tidak bagus juga, jadi harus seimbang," katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement