Senin 17 Jun 2019 15:53 WIB

'Undang Maskapai Asing Berpotensi Tingkatkan Defisit Jasa'

Akar masalah industri penerbangan ialah persaingan tidak sehat maskapai.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Aktivitas penerbangan di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Yulius Satria Wijaya
Aktivitas penerbangan di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonom senior Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Didik J Rachbini menjelaskan, mengundang maskapai asing akan merugikan nasional dalam ekonomi panjang. Kerugian tersebut akan terlihat pada akumulasi pendapatan primer Indonesia dengan meningkatkan defisit jasa dan defisit neraca transaksi berjalan.

Didik menuturkan, kehadiran maskapai asing sama saja dengan memasukkan investasi asing yang mengeksploitasi pasar dalam negeri. Sebab, tidak ditujukan untuk ekspor dan tidak menghasilkan devisa. Artinya, investasi tersebut buruk bagi ekonomi nasional.

Baca Juga

"Hasil dari investasi akan menjadi outflow dan menggerus devisa Indonesia seperti sekarang," ujarnya dalam diskusi online bertema 'Mimpi Tiket Penerbangan Murah: Perlukah Maskapai Asing Menjadi Solusi?', Ahad (16/6).

Saat ini, Didik menambahkan, kondisinya sudah parah. Hal ini akan diperburuk dengan mendatangkan maskapai asing yang dinilainya sebagai kebijakan gegabah. Dalam jangka menengah dan panjang, kebijakan tersebut mampu merugikan ekonomi nasional dan pemerintahan berikutnya akan 'cuci piring kotor'.

Didik menganjurkan, pemerintah harus fokus dalam membangun industri yang bersaing, harga tiket murah dan menjaga potensi nasional agar tidak merugikan kepentingan bangsa secara bersamaan. Dasar untuk membuat kebijakan nasional tidak boleh hanya memperhatikan satu poin di antaranya, melainkan harus dilihat secara komprehensif.  "Jangan sampai, untuk membuat harga tiket murah dan efisien, pasar industri harus dikorbankan," tuturnya.

Pasar industri penerbangan nasional adalah pasar sangat besar dan bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk dikembangkan menjadi pasar yang sehat, pelaku bersaing dan efisien. Pasar yang besar ini adalah modal besar bagi ekonomi nasional yang harus dikelola dengan sentuhan kebijakan tepat sehingga tidak merugikan secara nasional.

Selama ini, Didik mengatakan, industri penerbangan sudah bersaing secara sehat selama dua dekade. "Jika pasar dibuka secara gegabah, maka banyak kerugian yang akan diperolah dimana manfaat pasar dalam negeri yang besar akan dinikmati asing," ucapnya.

Didik menuturkan, mendatangkan maskapai asing bukanlah solusi mengatasi permasalahan industri penerbangan yang mendasar, melainkan instan. Akar permasalahan yang terjadi di Indonesia adalah persaingan tidak sehat. Solusi yang tepat adalah dengan menyelesaikan indikasi praktik kartel.

Saat ini, Didik menyebutkan, industri penerbangan nasional sedang kembali lagi ke periode sebelum tahun 2000. Saat itu, praktik kartel berjalan dan harga tiket menjadi melambung tinggi. Pada 2000 hingga 2018, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sudah melakukan larangan yang berdampak pada persaingan sehat dan harga tiket terjangkau.

Setelah tahun 2018, harga tiket menjadi mahal kembali dengan pelaku usaha yang duopoli. Didik menilai, terjadi indikasi praktek kartel tapi dibiarkan berjalan terus sehingga harga tiket mahal kembali.  "Di sini akar masalahnya," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement