Selasa 21 May 2019 15:57 WIB

Dampak Tiket Pesawat Turun Belum Dirasakan Industri Wisata

Harga tiket pesawat dinilai masih lebih tinggi sebelum masa kenaikan.

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nur Aini
Petugas memeriksa tiket pesawat penumpang di Low Cost Carrier Terminal (LCCT) atau Terminal khusus penerbangan maskapai berbiaya rendah usai peresmian operasionalnya di Terminal 2 F Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (1/5/2019)
Foto: Antara/Muhammad Iqbal
Petugas memeriksa tiket pesawat penumpang di Low Cost Carrier Terminal (LCCT) atau Terminal khusus penerbangan maskapai berbiaya rendah usai peresmian operasionalnya di Terminal 2 F Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Rabu (1/5/2019)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), penurunan tiket pesawat yang diklaim sebesar 12-15 persen hingga saat ini belum dirasakan oleh industri pariwisata. Sebab, secara umum, harga tiket pesawat masih tetap lebih tinggi dibanding sebelum kenaikan harga tiket sejak akhir tahun lalu. 

"Saya tidak merasa adanya dampak dari penurunan harga tiket pesawat. Kita semua merasakan harga tetap tinggi kalau dibandingkan dengan yang dahulu," kata Wakil Ketua PHRI, Rainier Daulay kepada Republika.co.id, Selasa (21/5). 

Baca Juga

Rainier menegaskan, kepentingan PHRI ada pada tingkat keterisian hotel dan restoran yang menjadi bagian dari industri pariwisata. Bukan hanya kunjungan dari wisatawan asing, namun wisatawan domestik turut menjadi perhitungan hotel dan restoran. 

Bahkan, kata dia, secara umum pengusaha hotel dan restoran lebih menyukai menerima wisatawan asli Indonesia. Bukan hanya profit, tingkah laku wisatawan domestik lebih cocok dengan kultur industri di Indonesia termasuk, dalam hal pariwisata halal. 

Karena itu, masalah mahalnya harga tiket maskapai penerbangan nasional di rute domestik harus diatur secara baik. Jika tidak, maka hanya masyarakat Jawa yang dapat bertahan karena ketersediaan Tol Trans Jawa saat ini yang dapat menjadi alternatif jalur transportasi. Sementara, sektor pariwisata di luar Jawa akan tetap kesulitan karena juga amat bergantung kepada transportasi udara. 

Di sisi lain, Rainier enggan menyalahkan sepihak pihak maskapai nasional. Sebab, komponen harga tiket tidak seluruhnya dapat ditentukan penuh oleh maskapai seperti misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), sewa bandara, dan bahan bakar. 

"Pemerintah sudah tahu dan kita sering bicara. Tapi tidak ada gunanya kalau tidak ada jalan keluar. Percuma tiap hari kita bicarakan ini tapi tidak ada niat baik dari semua pihak," ujarnya. 

Rainier menambahkan, para pengusaha yang tergabung dalam PHRI tetap berharap harga tiket pesawat kembali stabil. Menurutnya, semua pihak harus duduk bersama dan mencarikan solusi komprehensif secara baik dan tepat. 

Ia pun menyinggung mengenai perilaku penumpang transportasi udara saat ini yang memilih transit di negara tetangga ketika hendak menuju tujuan domestik. Hal itu, kata dia, menjadi ironi bagi Indonesia. 

Sementara, negara-negara yang menjadi titik transit seperti Singapura dan Malaysia, mendapatkan keuntungan berlebih dari kunjungan warga Indonesia. Sedangkan Indonesia sendiri, justru menderita kerugian ditambah lesunya sektor pariwisata. 

Adapun soal target wisatawan asing sebanyak 20 juta kunjungan pada tahun ini, ia menilai, bisa jadi sulit dicapai lantaran biaya penerbangan dalam negeri Indonesia yang tinggi. Tentu jika tidak tercapai, kata dia, bukan kesalahan semata Kementerian Pariwisata. 

"Negara tetangga dapat pendapatan ekstra, sementara kita asyik bikin target 20 juta kunjungan tapi tidak ada hasilnya. Ini bukan salah Kemenpar. Tentu saja waktu bikin target, ini kan kesepakatan antarkementerian," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement