Jumat 17 May 2019 11:38 WIB

BI: Kondisi Eksternal Tekan Pasar Uang

Keluarnya dana asing dari pasar uang Indonesia menjadi tantangan besar

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Dana Asing (ilustrasi)
Foto: IST
Dana Asing (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo menuturkan, kondisi eksternal memberikan tekanan terhadap perekonomian Indonesia, terutama di pasar keuangan. Menurutnya, hampir di semua instrumen, tercatat terjadi outflow atau aliran dana asing keluar dari Indonesia.

Di sisi lain, Dody menambahkan, perang dagang Amerika Serikat (AS) dengan China menimbulkan perdagangan dunia yang melambat. Hal ini turut berimbas pada kinerja ekspor Indonesia yang secara langsung berdampak terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi.

Baca Juga

"Itu semua berawal dari trade tension," ujarnya dalam pembukaan seminar Peran Surat Berharga Komersial Sebagai Sumber Pendanaan Ekonomi Nasional di Bank Indonesia, Jakarta, Jumat (17/5).

Dody mengakui, pertumbuhan ekonomi 5,07 persen di kuartal pertama kemarin berada di bawah ekspektasi BI. Begitupun dengan pertumbuhan investasi 5,3 persen di periode yang sama.

Dari kondisi tersebut, Dody menjelaskan, satu hal yang bisa dikatakan adalah ekonomi dan bisnis harus tetap lanjut. Salah satu cara yang dilakukan perbankan adalah menyediakan pembiayaan perekonomian.

"Terlebih, pertumbuhan kredit perbankan sudah berada di sekitar 11 persen, setelah 10 bulan terakhir berada di bawah 11 persen," ucapnya.

Dody menilai, setidaknya perbankan harus memiliki pertumbuhan kredit 10 hingga 12 persen untuk dapat membiayai pertumbuhan ekonomi di kisaran 5,1 sampai 5,2 persen. Tapi, kondisi outflow yang terjadi kini menjadi tantangan besar.  Oleh karena itu, pembiayaan non perbankan dapat menjadi solusi permasalahan pembiayaan.

Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, faktor eksternal menjadi salah satu hambatan penerimaan dalam negeri tumbuh melambat. Sampai akhir April 2019, realisasinya mencapai Rp 530,4 triliun, tumbuh 0,6 persen (yoy). Penerimaan ini melambat dibandingkan tahun lalu yang mampu tumbuh 13,2 persen (yoy).

"Kami sudah melihat tanda-tanda perekonomian mengalami penurunan dengan penerimaan pajak yang melemah pertumbuhannya," kata Sri dalam konferensi pers di kantornya, Kamis (16/5).

Sri menyebutkan, realisasi penerimaan perpajakan mencapai Rp 436,41 triliun atau 24,43 persen dari target APBN. Jumlah tersebut tumbuh 4,72 persen dibandingkan realisasi periode yang sama pada APBN tahun 2018, sebesar Rp 416,73 triliun. Pertumbuhan itu melambat dibanding dengan kondisi tahun lalu yang mencapai 11,1  persen.

Sementara itu, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) membukukan realisasi Rp 93,97 triliun atau 24,84 persen dari target APBN 2019. Pencapaian tersebut turun 14,85 persen dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu, di mana PNBP mencapai Rp 110,35 triliun.

Sri mengatakan, secara overall, PNBP tahun lalu dan tahun 2017 mengalami kondisi positif berturut-turut. Kondisi ini lantas berubah pada tahun 2019 karena faktor eksternal. "Ini persis dengan situasi 2014 dan 2015, di mana PNBP mengalami tekanan dalam," tuturnya.

Dengan kondisi yang ada, Sri memastikan, pemerintah akan terus berkomitmen mengelola keuangan negara dengan hati-hati dan terukur. Tujuannya, agar APBN tetap kredibel di tengah ketidakpastian global.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement