Kamis 16 May 2019 21:31 WIB

Asuransi Syariah Bersiap Spin Off pada 2024

Spin off membuka peluang investor domestik untuk masuk ke industri asuransi.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Dwi Murdaningsih
Ilustrasi Asuransi
Foto: pixabay
Ilustrasi Asuransi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asuransi syariah yang masih berstatus Unit Usaha Syariah (UUS) sedang bersiap untuk melepaskan diri secara penuh dari induknya pada 2024. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta mereka untuk menyerahkan rencana bisnis, khususnya terkait rencana spin off pada 17 Oktober 2020.

Deputi Komisioner Pengawas IKNB II, Moch Ihsanuddin menyampaikan hingga saat ini sudah ada 10 perusahaan yang menyampaikan rencana kerja. Sisanya sebanyak 48 perusahaan belum menyerahkan laporan.

Baca Juga

"Sementara, empat perusahaan asuransi syariah sudah melakukan spin off," kata dia kepada wartawan di Kantor OJK, Lapangan Banteng, Jakarta, Kamis (16/5).

Dua diantaranya adalah asuransi syariah umum, yakni Jasindo Syariah yang spin off pada 2017 dan Askrida Syariah pada 2018. Dua lagi yakni satu perusahaan asuransi jiwa dan Reindo yang merupakan perusahaan reasuransi. 

Mandat spin off ini tertuang dalam Undang Undang No. 40 tahun 2014 tentang Perasuransian. Pasal 87 mengatur persyaratan spin off bagi perusahaan asuransi ditentukan oleh dua hal. Yakni syarat minimum aset tercapai 50 persen di unit syariah, dan atau 10 tahun setelah UU berlaku.

Juru Bicara OJK, Sekar Putih juga menyampaikan Peraturan OJK Nomor 67/POJK.05/2016 mengatur cara spin off unit syariah. Ada dua cara yakni dengan mendirikan perusahaan baru atau mengalihkan ke perusahaan lain.

Sejauh ini, OJK melakukan sejumlah program untuk mempersiapkan industri dan masyarakat menuju spin off. Seperti melakukan workshop, kajian peraturan, hingga pengawasan.

"Biasanya persiapan spin off itu sudah dilakukan sejak empat tahun sebelumnya, jadi mulai 2020 kita harus mulai antisipasi," kata Sekar.

Sejumlah tantangan diperkirakan akan muncul. Yang terbesar adalah pencarian investor dalam negeri yang harus memenuhi 20 persen dari total kepemilikan di perusahaan asuransi. Ini merujuk pada peraturan yang mengatur kepemilikan asing maksimal 80 persen.

Ihsanuddin mengatakan ini adalah peluang bagi investor domestik untuk masuk ke industri asuransi dalam negeri. Ia meyakinkan industri ini memiliki prospek yang berkelanjutan dan ruang untuk tumbuh masih luas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement