Kamis 16 May 2019 19:11 WIB

Faktor Eksternal Pengaruhi APBN

APBN hingga akhir April mengalami deisit sebesar Rp 101,04 triliun.

Rep: Adinda Pryanka / Red: Friska Yolanda
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan terkait realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (19/3/2019)
Foto: Antara/Wahyu Putro A
Menteri Keuangan Sri Mulyani memberikan keterangan terkait realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 di Kementerian Keuangan, Jakarta, Selasa (19/3/2019)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sampai akhir April 2019 mencatatkan defisit Rp 101,04 triliun atau 0,63 persen dari produk domestik bruto (PDB). Angka tersebut naik sekitar 84 persen dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu, yakni Rp 54,87 triliun. 

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan, meski defisit, pelaksanaan APBN sampai akhir April masih terbilang aman. Sebab, pendapatan negara mengalami pertumbuhan 0,5 persen secara year on year (yoy), dari Rp 528,07 triliun menjadi Rp 530,74 triliun. "Bersamaan dengan penerimaan perpajakan yang tumbuh 4,7 persen," tuturnya dalam konferensi pers kinerja APBN di kantornya, Jakarta, Kamis (16/5). 

Baca Juga

Sementara itu, belanja negara mengalami peningkatan 8,38 persen dari Rp 582,95 triliun pada realisasi APBN sampai dengan akhir April 2018 menjadi Rp 631,78 triliun pada periode yang sama di tahun ini. Sementara itu, untuk posisi utang, Sri mengatakan, masih berada di level aman di bawah 30 persen PDB, yakni 29,65 persen terhadap PDB, 

Situasi ekonomi global kini masih membutuhkan perhatian khusus. Tapi, Sri menilai, kinerja APBN sampai dengan April masih melakukan fungsinya sebagai countercyclical atau penyangga. Baik itu terhadap ekonomi dari luar maupun adanya indikasi pelemahan dalam negeri. 

Sri menjelaskan, dari situasi ekonomi yang mendapatkan tekanan dari luar dan dalam, APBN mampu mengurangi tekanan dan tetap memberikan kontribusi dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Tercatat dari pertumbuhan ekonomi Indonesia yang tumbuh 5,07 persen pada kuartal pertama, lebih tinggi dari periode sama pada tahun lalu. 

Sisi konsumsi baik rumah tangga dan lembaga nonprofit melayani rumah tangga serta konsumsi pemerintah selama kuartal pertama 2019 tumbuh lebih tinggi dibandingkan 2018. "Ini yang menunjukkan, APBN mampu jadi countercyclical," ujar Sri. 

Hanya saja, Sri mengakui, kinerja ekspor dan impor tidak menggembirakan karena mengalami kontraksi masing-masing 2,08 persen dan 7,75 persen. Kondisi ini berbeda jauh dengan awal tahun lalu, di mana ekspor tumbuh hampir enam persen, sementara impor di atas 12 persen. 

Sri melihat tren tersebut sebagai akibat dari dampak perekonomian luar negeri global yang melambat. Ditambah lagi adanya tambahan sentimen perang dagang antara AS dengan China serta pelemahan harga komoditas dunia. 

Oleh karena itu, Sri menambahkan, pemerintah harus meningkatkan kewaspadaan. Sebab, tren ini seperti kondisi 2014 dan 2015, di mana perekonomian Indonesia mengalami tekanan dengan penurunan harga komoditas secara drastis. "Waktu itu, karena eksternal faktor, ekspor dan impor mengalami negatif growth," ucapnya. 

Sri menuturkan, kinerja ekspor sendiri tertahan oleh tren penurunan volume permintaan ekspor dari mitra dagang seperti Cina, AS, Jepang dan India. Selain itu, harga komoditas batu bara yang rendah di tengah kebijakan negara mitra dagang membatasi impor seperti India dan Uni Eropa.

Di tengah tren penurunan harga komoditas pertambangan, penerimaan sumber daya alam (SDA) Migas dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mencapai Rp 35,27 triliun. Realisasi tersebut mengalami penurunan sebesar 0,08 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2018, yakni Rp 35,30 triliun. 

Investasi berada di tingkat 5,03 persen atau melemah dibanding dengan kuartal empat atau sepanjang tahun 2018. Sri mengatakan, kondisi ini menuntut pemerintah waspada untuk tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi mencapai target 5,3 persen. 

Apabila dilihat secara sektoral, Sri menambahkan, sektor tersier (perdagangan, transportasi, jasa) mengalami pertumbuhan tertinggi, yakni 3,19 persen. Sedangkan, sektor primer (pertanian dan pertambangan) tumbuh 0,41 persen dan sekunder (industri, listrik dan gas) tumbuh 1,47 persen. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement