REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ekonom dari Universitas Indonesia Fithra Faisal mempertanyakan urgensi keinginan Bulog yang masih berupaya mengejar pemberian izin impor bawang putih dengan kuota 100 ribu ton. Padahal, kata dia, kapasitas penyimpanan gudang Bulog cukup terbatas dan bawang putih impor sudah mencukupi pasokan kebutuhan pasar.
Menurut dia, dengan semakin menurunnya harga bawang putih di pasaran, pelaksanaan importasi oleh Bulog tidak terlalu relevan dengan tingkat kebutuhan yang ada. Kecuali, kata dia, terdapat indikasi kecurangan maupun pelanggaran-pelanggaran hukum yang dilakukan oleh para importir.
“Kalau ada indikasi importir ini menumpuk stok dan melakukan aksi spekulasi jelang Lebaran, ya bisa itu dikenakan sanksi-sanksi tertentu dan Bulog bisa ambil alih,” kata Fithra saat dihubungi Republika, Kamis (16/5).
Menurut dia, urgensi importasi yang dilakukan Bulog harus berdasarkan data tingkat kebutuhan dengan stok yang dimiliki pasar di dalam negeri. Kendati begitu, menurut Fithra, sejauh ini pemerintah tidak memiliki data pasti mengenai stok secara konkret atau bisa jadi memiliki data stok namun enggan dibeberkan secara publik.
Dia menjelaskan, pemerintah perlu mengukur urgensi importasi yang dilakukan antara importir dengan Bulog. Apakah hal tersebut, menurut Fithra, dapat menjaga stabilitas pasokan dan harga dan tidak menyebabkan gejolak besar.
“Apalagi bawang putih ini masih ada faktor substitusinya, ya meskipun bawang putih menyebabkan inflasi di beberapa waktu lalu, tapi saya kira masih cukup terkontrol lah (inflasi itu),” kata dia.
Berdasarkan survei harga pekan kedua bulan April yang dirilis Bank Indonesia, bawang putih menjadi penyumbang inflasi sebesar 21,6 persen. Sedangkan berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) April 2019, kenaikan harga bawang putih mencapai 35 persen atau berkontribusi pada inflasi sebesar 0,09 persen.