Jumat 10 May 2019 19:00 WIB

ESDM Minta Industri Maksimalkan Produksi Solar Dalam Negeri

Untuk menekan impor solar, implementasi B20 harus digencarkan.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Friska Yolanda
Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis solar pada kendaraan di SPBU Coco, Kuningan, Jakarta, Jumat (31/8).
Foto: ANTARA FOTO
Petugas mengisi bahan bakar minyak (BBM) jenis solar pada kendaraan di SPBU Coco, Kuningan, Jakarta, Jumat (31/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menjelaskan pemerintah sudah mengimbau para industri tambang dan industri migas untuk bisa memakai solar dalam negeri untuk bisa menekan angka impor. Arcandra memastikan Pertamina bisa memenuhi kebutuhan solar tersebut.

"Sebisa mungkin solar yang diproduksi oleh Pertamina itu digunakan atau dibeli oleh industri di dalam negeri," ujar Arcandra di Kementerian ESDM, Jumat (10/5).

Baca Juga

Arcandra menjelaskan langkah ini memang sudah menjadi salah satu kesepakatan pemerintah untuk bisa menekan angka impor solar. Salah satu caranya, kata Arcandra Pertamina akan menyerap minyak mentah produksi KKKS langsung dan mengolahnya ke kilang.

"Itu makanya kebijakan kita beli dari dalam negeri. Jadi bisa menekan angka impor. Pengolahannya langsung di kilang Pertamina," ujar Arcandra.

Selain itu, kata Arcandra, untuk bisa menekan angka impor solar adalah dengan implementasi B20. Paling tidak, kata Arcandra, kebutuhan solar 20 persen bisa disubtitusi oleh FAME.

"Tentu dari B20 itu pasti berkurang kebutuhan solar kita," ujar Arcandra.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pemerintah akan menghentikan impor solar dan avtur pada bulan ini. Kebijakan tersebut diambil agar defisit transaksi berjalan (current acount deficit/CAD) tidak semakin melebar.

Darmin mengatakan, sebagai gantinya, pengolahan minyak dalam negeri menjadi avtur dan solar akan dimaksimalkan. "Menurut Pertamina dan (Kementerian) ESDM, nanti sudah tidak impor (avtur dan solar) bulan depan," ujarnya ketika ditemui di Gedung Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Jumat (10/5).

Defisit Transaksi Berjalan Indonesia pada kuartal pertama 2019 mencapai 6,96 miliar dolar AS atau setara dengan 2,6 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut jauh lebih dalam dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu, sebesar 5,19 miliar dolar AS atau 2,01 persen dari PDB.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement