Ahad 05 May 2019 13:45 WIB

Asbisindo: Merger Cara BPR untuk Memperkuat Modal

Aktivitas merger antara BPR konvensional dengan BPR Syariah membawa dampak positif

Rep: Novita Intan/ Red: Nidia Zuraya
BPR, ilustrasi
BPR, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menargetkan akan merilis aturan penggabungan, peleburan dan pengambilalihan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Aturan ini dimaksudkan untuk mendorong BPR untuk memenuhi kewajiban modal inti minimum.

Ketua Kompartemen BPR Syariah Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo) Cahyo Kartiko mengatakan aturan tersebut merupakan sebuah kebijakan logis yang diambil sebagai tindak lanjut dari pelaksanaan beberapa peraturan OJK, terutama terkait Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) bagi BPR atau BPRS.

Baca Juga

“Adanya kemungkinan bagi BPR atau BPRS yang tidak dapat memenuhi kewajiban modal inti minimum pada 2019 dan 2020, maka salah satu alternatif yang cukup baik adalah melakukan merger sesama BPR atau BPR dengan BPRS,” ujarnya ketika dihubungi Republika, Ahad (5/5).

Menurutnya aturan tersebut juga memberikan kemudahan bagi BPR atau BPRS untuk melakukan merger. Diharapkan permodalan BPR atau BPRS semakin kuat untuk membangun infrastruktur dan teknologi IT yang lebih baik.

“Aktivitas merger antara BPR konvensional dengan BPR Syariah membawa dampak positif bagi perkembangan industri BPRS. Karena apabila BPR merger dengan BPRS maka BPR hasil merger harus beroperasi sebagai BPR Syariah,” ungkapnya.

Cahyo menambahkan aturan ini sejalan dengan program Kompartemen BPRS Asbisindo dalam meningkatkan jumlah individu BPRS, baik melalui pendirian baru, konversi dan merger.

Berdasarkan data statistik perbankan syariah pada 2018, asset industri BPRS tetap tumbuh hingga 14 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini seiring dengan pertumbuhan pembiayaan dan dana pihak ketiga (DPK).

Namun demikian, secara persebaran wilayah di Indonesia masih belum merata karena sebagian besar masih berada di pulau jawa dan sumatera. Bahkan ada beberapa propinsi yang tidak memiliki BPRS seperti Jambi, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur, Maluku dan Papua Barat.

“Tapi soal jaringan kantor yang sudah ada sebelumnya tidak ditutup agar pelayanan kepada nasabah tetap berjalan dengan baik,” ungkapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement