REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dian Ediana Rae mengungkapkan terdapat tiga tantangan struktural utama yang dihadapi Bank Perekonomian Rakyat (BPR) dan BPR Syariah (BPRS) saat ini, salah satunya yaitu permodalan dan disparitas skala usaha.
"(Tantangan) yang pertama, permodalan dan disparitas skala usaha. Jumlah BPR dan BPRS yang banyak dan sebagian besar didominasi oleh BPR dan BPRS dengan skala usaha kecil," kata Dian di Jakarta, Senin (20/5/2024).
BPR dan BPRS, imbuh Dian, juga masih dihadapkan dengan kewajiban pemenuhan modal inti minimum sebesar Rp 6 miliar pada akhir Desember tahun 2024 bagi BPR dan akhir Desember 2025 bagi BPRS.
Kemudian tantangan yang kedua, berkaitan dengan tata kelola dan manajemen risiko. Dian mengatakan bahwa kualitas dan kuantitas pengurus serta sumber daya manusia (SDM) industri BPR dan BPRS masih perlu dioptimalkan. Untuk meningkatkan kinerja industri BPR dan BPRS, dibutuhkan penerapan tata kelola yang baik dan manajemen risiko yang efektif.
Selanjutnya, tantangan ketiga dari sisi persaingan usaha. Menurut Dian, BPR dan BPRS menghadapi persaingan yang semakin ketat dengan lembaga keuangan lain khususnya untuk segmen usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dari hulu sampai hilir.
"Terlebih lagi dengan masifnya perkembangan teknologi informasi atau IT yang mendorong inovasi produk dan layanan keuangan juga menjadi pesaing yang cukup berat bagi industri BPR dan BPRS," kata dia.
Menjawab tantangan tersebut, enam bank umum serta perwakilan asosiasi BPR dan BPRS melakukan penadatanganan komitmen sebagai salah satu bentuk sinergi dan kolaborasi dalam mendukung pengembangan SDM industri BPR dan BPRS.
Para pihak yang terlibat dalam komitmen tersebut antara lain BTN, BRI, BNI, Bank Mandiri, BCA, dan BSI, serta Perhimpunan BPR Indonesia (Perbarindo), Perhimpunan BPR/S Milik Pemerintah Daerah Se-Indonesia (Perbamida), dan Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo).
Dengan memperhatikan tantangan yang dihadapi industri BPR dan BPRS serta reformasi pengaturan dan kebijakan di sektor keuangan, OJK juga meluncurkan peta jalan atau roadmap yang diluncurkan pada Senin.
Roadmap Pengembangan dan Penguatan Industri BPR dan BPRS 2024-2027 merupakan landasan kebijakan untuk memperkuat serta mengembangkan industri BPR dan BPRS sekaligus menjawab tantangan industri BPR dan BPRS di masa mendatang.
RP2B 2024-2027 dirancang sebagai living document yang dapat terus disesuaikan dengan perkembangan industri dan ekosistem industri jasa keuangan, sehingga menjadi bagian dari respon kebijakan yang relevan dan tepat waktu untuk mendukung daya tahan dan daya saing industri BPR dan BPRS.
Sesuai amanat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK), OJK juga telah menerbitkan POJK No. 7 Tahun 2024 yang berlaku sejak 30 April 2024. Peraturan ini ditujukan untuk mendorong agar BPR/S dapat bertumbuh dan berkembang menjadi lembaga keuangan yang berintegritas, adaptif, dan berdaya saing.