Kamis 02 May 2019 16:48 WIB

Margin Tipis, Pelaku Usaha Keluhkan Pajak Jasa Titip

Margin usaha pelaku jasa titip tidak selalu tinggi.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Friska Yolanda
Aktivitas jual beli di Pasar Tebet, Jakarta, Senin (2/10).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Aktivitas jual beli di Pasar Tebet, Jakarta, Senin (2/10).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Salah satu pelaku usaha jasa titip (jastip) yang juga alumni Universitas Al Azhar Mesir, Ardi Wandana (31 tahun), mengeluhkan penerapan regulasi pajak jastip dengan rata-rata 25-27 persen dari total barang yang dibawa. Alasannya, para pelaku jastip di Mesir mayoritasnya merupakan mahasiswa yang hanya memperoleh keuntungan tipis.

Ardi mengatakan, kebanyakan mahasiswa Indonesia yang bersekolah di Mesir yang menjadi pelaku jastip hanya memperoleh keuntungan rata-rata sebesar Rp 500 ribu-Rp 1 juta dalam satu kali aktivitas jastipnya. Padahal, kata dia, para mahasiswa tersebut juga kerap membantu perekonomian keluarga demi kelangsungan hidup perantauan lewat aktivitas itu.

Baca Juga

Adapun tarif jastip yang dipatok oleh para mahasiswa Indonesia di Mesir rata-rata Rp 100 ribu per kilogram (kg). Dari jumlah tersebut, keuntungan pelaku jastip belum tentu mencapai Rp 500 ribu-Rp 1 juta dari tiap aktivitasnya. Sebab, tarif tiket yang mahal menjadi salah satu faktor menipisnya keuntungan mereka.

“Lumayan keberatan juga sebenarnya, apalagi jastip ini lumayan bantu kehidupan mahasiswa di sana,” kata Ardi saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (2/5).

Dia menambahkan, barang-barang yang sering dititipkan oleh para pelaku usaha jastip di Mesir meliputi pakaian, buku, hingga bahan-bahan makanan yang jarang ditemui di Mesir. Ardi menceritakan, biasanya pelaku usaha jastip sering membatasi jumlah barang yang cenderung seragam guna menghindari pengawasan petugas bea cukai.

Salah satu pelaku usaha jastip asal Bandung, Zeni Afip, mengaku tak keberatan dengan penerapan pajak jastip yang diterapkan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Menurut dia, sebagai warga negara, regulasi tersebut memang perlu dipatuhi. “Apalagi, pajak ini kan juga adalah pemasukan negara ya,” kata dia.

Selain itu, dia menilai, asal penerapan pajak tersebut masih dalam tahapan yang rasional dan wajar maka tidak menjadi masalah para pelaku usaha jastip. Zeni mengatakan, saat ini para konsumen jastipnya cenderung membeli barang-barang yang tidak ada di Indonesia dan hanya dijual di luar negeri.

Seperti diketahui, pemerintah menerapkan pemberlakuan pajak produk impor bagi perorangan dan para pelaku jastip dengan total nilai barang sebesar Rp 7 juta per orang. Adapun besaran pajak barang impor jastip terdiri dari pajak pertambahan nilai (PPn) sebesar 10 persen, pajak penghasilan (PPh) 10 persen, dan bea masuk sebesar 7,5 persen. Barang-barang tersebut dirata-rata terkena pajak sekitar 25-27 persen.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement