Sabtu 27 Apr 2019 13:45 WIB

SMK Banyak Nganggur, Ketua Apindo Salahkan Upah Tinggi

Perusahaan tidak mematuhi aturan gaji, minta upah pekerja diturunkan.

Rep: Imas Damayanti/ Red: Nur Aini
 Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani (kiri), Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani (kanan) berbicara saat akan mengelar konferensi pers terkait demo 2 Desember di Jakarta, Selasa (29\11).
Foto: Republika/Tahta Aidilla
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani (kiri), Ketua Umum Kadin Indonesia Rosan P Roeslani (kanan) berbicara saat akan mengelar konferensi pers terkait demo 2 Desember di Jakarta, Selasa (29\11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi Sukamdani menuding minimnya penyerapan tenaga kerja SMK berdasarkan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) karena upah minimum regional (UMR) tinggi. 

Berdasarkan catatan BPS, pada Agustus 2018 tingkat pengangguran terbuta (TPT) 2018 sebesar 6,99 juta orang atau 5,34 persen dari jumlah angkatan kerja sebanyak 131,01 juta jiwa. Dari jumlah tersebut, lulusan SMK yang menganggur tercatat sebesar 11,24 persen, sedangkan lulusan SMA menganggur sebanyak 7,95 persen.

Baca Juga

Menurut Hariyadi, pemerintah perlu melakukan amandemen Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mengikuti kondisi dan fakta lapangan yang terjadi. Dia menjabarkan, sejak 2003 regulasi tersebut digulirkan, dunia usaha menjalankannya dengan setengah hati sebab setiap perusahaan memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam membayar upah sesuai yang ditentukan.

“Sekarang kalau semuanya (lulusan SMK) digaji Rp 3,9 juta, perusahaan banyak yang nggak sanggup. Jadi suplai dan kebutuhannya nggak seimbang,” kata Hariyadi saat dihubungi Republika.co.id, Sabtu (27/4).

Dia menjelaskan, saat ini hanya sekitar 70-80 persen saja perusahaan yang menaati peraturan tersebut. Sebab, kata dia, dengan kemampuan finansial perusahaan yang berbeda, apabila peraturan tersebut dipaksakan diikuti, perusahaan akan mengalami dampak buruk secara berkelanjutan.

Di sisi lain dia menilai, dalam beleid tersebut diatur bahwa pengesahan kenaikan upah ditentukan oleh kepala daerah. Menurut dia, hal tersebut rawan dipolitisasi dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Menurutnya, hal tersebut sudah terjadi dan berlangsung sejak 2003 hingga kini di sejumlah daerah.

Dia menambahkan, sejak regulasi tersebut mulai disusun pada 2003, Apindo secara eksplisit sudah memberikan masukan kepada pemerintah bahwa akan terjadi gelombang penyerapan tenaga kerja yang minim bila peraturan itu tetap diterapkan. Selain, kata dia, kapasitas tenaga kerja SMK belum secara merata memiliki skill yang sesuai dengan kebutuhan industri.

“Tahun 2017 kita gelar pemagangan nasional dengan 57 ribu peserta yang ikut. Hasilnya, hanya kurang dari 10 ribu peserta yang terserap. Minim sekali,” kata dia.

Hariyadi mengimbau agar pemerintah perlu menggenjot program pendidikan vokasi yang terukur dan sesuai dengan kebutuhan dunia usaha, selain berjalan seiringan dengan revisi UU Nomor 13 Tahun 2003 yang ada. Dia berharap, revisi regulasi yang disesuaikan dengan kebutuhan di lapangan akan berdampak baik pada penyerapan tenaga kerja sebesar-besarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement