REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Program optimalisasi lahan rawa yang digencarkan Kementerian Pertanian (Kementan) pada November 2018 lalu baru mencapai realisasi tanam sebesar 10 ribu hektare saat ini. Padahal, target pertanaman lahan rawa hingga akhir 2019 sebesar 500 ribu hektare.
Optimalisasi pertanaman lahan rawa sebesar 10 ribu hektare tersebut berasal dari tiga wilayah, yakni Kalimantan Selatan, Sumatra Selatan, dan Sulawesi Selatan. “Dari 400 ribu hektare itu, memang yang ditanam baru 10 ribu hektare,” kata Direktur Jenderal Prasarana dan Sarama Pertanian (PSP) Kementan Sarwo Edhy kepada wartawan, di gedung Kementan, Jakarta, Rabu (24/4).
Dia menjelaskan, setelah dilakukan verifikasi dari target 500 ribu hektare yang dicanangkan, hanya ada 400 ribu hektare lahan rawa yang dapat dimanfaatkan dan digarap pemerintah. Sisanya, kata dia, akan coba dialokasikan kepada wilayah-wilayah lain yang memiliki potensi dalam mengelola lahan rawa guna menggenapkan target sebesar 500 ribu hektare.
Berkurangnya lahan dari validasi disebabkan beberapa kriteria yang belum dipenuhi. Adapun kriteria yag dimaksud dengan adanya kehendak petani untuk bersedia dipotong lahannya guna pembuatan irigasi tersier. Menurut dia, desa yang tidak mau dikeruk lahannya untuk dibuat jaringan tersier maka segera dicoret dari jumlah target optimalisasi lahan.
Sarwo menambahkan, beberapa wilayah yang memiliki potensi tanam sudah ada yang mengajukan pengelolaan lahan rawa seperti Lampung dan Riau. Kendati demikian, saat ini Kementan masih berfokus terlebih dahulu ke tiga wilayah tanam yang telah ditentukan dan divalidasi dan merupakan target tahun ini.
“Instruksi ini merupakan arahan langsung Pak Menteri,” kata dia.
Dengan adanya validasi lahan sehingga timbul pengurangan lahan yang ditargetkan, Sarwo menjelaskan alokasi anggaran yang sudah ditetapkan untuk pengembangan lahan rawa tentunya akan berkurang. Dari Rp 2,5 triliun anggaran program optimalisasi lahan rawa yang ada, sejauh ini Kementan belum menghitung berapa anggaran yang akan dikembalikan atas dampak pengurangan lahan yang tersedia.
Adapun kalkulasi biaya optimalisasi lahan rawa berkisar Rp 4,5 juta per hektare meliputi biaya rehabilitasi jaringan tersier, meninggikan tanggul, membuat pintu-pintu pompa air, serta biaya pengadaan pompa. Saat ini, dari sekitar 10 ribu hektare yang dilakukan pertanaman, sebanyak 1.200 hektare lahan sudah dapat di panen di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan.
“Produksi GKP (gabah kering panen) lahan rawa ini sudah 6,5 ton per hektare dari sebelumnya yang hanya tiga ton,” katanya.
Di samping itu, dia menambahkan, saat ini Kementan tengah berupaya menyosialisasikan bening padi unggul yang memiliki produktivitas tinggi kepada petani. Menurut dia, diterimanya benih unggul kepada petani merupakan salah satu kunci penting suksesnya optimalisasi lahan rawa.
Di samping itu, pengelolaan air yang juga harus dimaksimalkan secara menyeluruh. Dia optimistis, menutup tahun 2019, capaian tanam di lahan rawa dengan target yang ada dapat tercapai.
Sekretaris Jenderal Tanaman Pangan Kementan Bambang Pamuji mengatakan, saat ini biaya sarana produksi padi (sapordi) lahan rawa berkisar Rp 2,01 juta per hektare. Jumlah tersebut menutupi pembiayaan benih, dolomit, dan herbisida.
“Setiap hektarenya, lahan rawa itu butuh sekitar 80 kilogram (kg) benih per hektare,” katanya.
Dia menjelaskan, saat ini optimalisasi lahan rawa terintegrasi dengan budi daya hortikultura, peternakan seperti bebek dan ikan. Sedangkan, menurut dia, klasifikasi lahan rawa terbagi menjadi empat tipe yang diukur dari tingkat kelola airnya.