Rabu 24 Apr 2019 08:48 WIB

PNBP: Pergeseran Asumsi Makro Kuatkan Potensi Shortfall

Pergeseran asumsi makro yang berpengaruh adalah nilai tukar rupiah dan harga minyak.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Ilustrasi kilang minyak
Foto: AP Photo/J David Ake
Ilustrasi kilang minyak

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kementerian Keuangan Wawan Sunarjo mengatakan, pergeseran sejumlah asumsi makro dari postur Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 pasti berdampak pada penerimaan. Khususnya pada sektor migas karena asumsinya sangat berpengaruh, yakni nilai tukar rupiah terhadap dolar AS dan Indonesia Crude Price (ICP) atau harga minyak. 

Di sisi lain, Wawan menambahkan, secara agregat, pergeseran dua asumsi tersebut menimbulkan kekhawatiran akan terjadinya shortfall atau kondisi penerimaan pajak menurun. "Kemungkinan masih shortfall 2,5 persen," ujarnya ketika dihubungi Republika.co.id, Selasa (23/4). 

Baca Juga

Menurut Wawan, Kemenkeu sudah melakukan berbagai upaya untuk mengatasi hal tersebut. Di antaranya joint analysis antara Direktorat Anggaran dengan Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Direktorat Jenderal Pajak. Fungsinya, untuk menentukan kriteria wajib bayar (WB) yang merupakan berisiko tinggi atau sebaliknya. 

Dengan kerja sama antardirektorat melalui joint analysis tersebut, Wawan berharap, ada optimalisasi PNBP sehingga mampu mencapai target pemerintah yaitu Rp 378,2 triliun. 

Meski penerimaan dari minerba diprediksi meleset dari target, Wawan memproyeksi PNBP dari sektor lain mampu memenuhi target. "Misalnya, PNBP layanan, BLU dan sebagainya," ujarnya. 

Sampai dengan 31 Maret 2019, realisasi PNBP mencapai Rp 70 triliun atau 18,52 persen dari target APBN 2019. Realisasi pada bulan Maret mencapai Rp 30,13 triliun, lebih tinggi dari realisasi Januari (18,71 triliun) dan Februari (Rp 21,20 triliun). 

Tapi, realisasi PNBP sepanjang kuartal pertama 2019 mengalami perlambatan, yakni lebih rendah 1,40 persen dibanding dengan periode yang sama pada tahun lalu. Antara lain dipengaruhi penurunan capaian penerimaan SDA Migas karena rendahnya realisasi ICP periode Januari-Maret 2019 (60,49 dolar AS per barel) dibanding dengan ICP Januari-Maret 2018 (63,02 dolar AS per barel).

Ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan, nilai tukar rupiah merupakan asumsi makro dalam APBN 2019 yang paling mendesak untuk direvisi. Sebab, diprediksi, rupiah akan bergerak stabil di kisaran Rp 14.000 hingga Rp 14.000 per dolar AS, lebih rendah dari asumsi (Rp 15.000 per dolar AS). 

Bhima mengatakan, nilai tukar rupiah akan mempengaruhi anggaran yang menggunakan mata dolar AS. Di antaranya penerimaan dari PPh pasal 22 impor, bea masuk dan bea keluar hingga ke penerimaan PPh migas dan PNBP SDA. "Oleh karena itu, perlu dipikirkan untuk melakukan APBN perubahan," katanya. 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Suahasil Nazara mengatakan, pergeseran asumsi makro harus dilihat secara komprehensif. Misalnya saja ICP yang saat ini lebih rendah di bawah asumsi. 

Dampaknya, penerimaan negara kemungkinan lebih rendah dari target. Tapi, di sisi lain, subsidi energi juga dapat lebih rendah dari target. "Oleh karena itu, kami tidak buru-buru dalam mengambil keputusan," ucap Suahasil dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (23/4). 

Menurut catatan Kemenkeu, harga minyak mentah Indonesia kini mencapai 60,49 dolar AS per barel. Angka tersebut lebih rendah dibanding dengan asumsi pada APBN 2019, yaitu 70 dolar AS per barel. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement