Jumat 19 Apr 2019 13:50 WIB

Saatnya Mengubah Citra Profesi Petani

Perlu upaya rebranding profesi petani melalui berbagai strategi.

Red: EH Ismail
Seorang petani di Desa Cempeh, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu sedang menjemur gabah yang baru dipanennya, Rabu (4/4). Panasnya cuaca memudahkan mereka menjemur gabah sehingga berani menjual dengan harga lebih tinggi.
Foto: Republika/Lilis Sri Handayani
Seorang petani di Desa Cempeh, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu sedang menjemur gabah yang baru dipanennya, Rabu (4/4). Panasnya cuaca memudahkan mereka menjemur gabah sehingga berani menjual dengan harga lebih tinggi.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR — Petani sudah saatnya di re-branding melalui generasi millenial untuk menjadi petani agribisnis modern di masa depan. Jika dilihat kondisi saat ini, petani hanya didominasi oleh lulusan SD (74 persen) bahkan sebagiannya tidak tamat SD.

"Kalau yang sampai perguruan tinggi, hanya 1 persen. Jumlah petani 34 juta jiwa misalnya, berarti hanya 34 ribu petani yang jadi petani berpendidikan tinggi," tukas Kepala Badan Penyuluhan dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian, Momon Rusmono saat membuka acara 1st Millenial Indonesia Agropreneurs (MIA) di Bogor, Jumat (19/4).

Karena itu, perlu upaya rebranding profesi petani melalui berbagai strategi yang telah ditempuh Kementerian Pertanian. Pertama, Transformasi dan Revitalisasi Pendidikan Vokasi Pertanian, terutama kurikulum yang berbasis pada dunia usaha dan dunia industri (Dudi). 

Pihaknya mengaku sudah melakukan transformasi enam Sekolah Tinggi Penyuluhan Pertanian (STPP) menjadi Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) yakni Polbangtan Medan, Polbangtan Bogor, Polbangtan Yogyakarta-Magelang, Polbangtan Malang, Polbangtan Gowa dan Polbangtan Manokwari. 

“Selain itu 3 SMK-PP di bawah BPPSDMP pun sedang dalam proses menjadi Polbangtan ditambah satu Politeknik Enjiniring Pertanian Indonesia (PEPI). BPPSDMP juga membina 78 SMK Pertanian di seluruh Indonesia," tuturnya.

Pendidikan tinggi vokasi memiliki peran strategis dan berada di garda terdepan untuk penanganan usia angkatan kerja dan mendidik mereka menjadi tenaga-tenaga terampil, profesional dan memiliki daya kompetitif tinggi yang akan meningkatkan daya saing bangsa. 

Kedua, Penumbuhan Wirausaha Muda Pertanian. Kini sudah ada 1018 unit kelompok wirausaha muda pertanian secara nasional.

"Dengan menjadi wirausaha, anak muda tidak berpenghasilan tetap, tetapi tetap berpenghasilan," tuturnya.

Ketiga, Penumbuhan Kelompok Usaha Bersama (KUB) khususnya di wilayah Pondok Pesantren (ponpes) dengan pendampingan langsung. 

Keempat, Pendampingan mahasiswa dan alumni untuk pengembangan pertanian. Setiap tahunnya kurang lebih ada 1500 orang dengan tujuan utama peningkatan minat berusaha dalam bidang pertanian. 

Kelima, Penumbuhan kelembagaan petani melalui korporasi petani anak muda. Sehingga tidak hanya menguasai di tingkat huli tetapi juga hingga ke hilir. 

"Millenial agribisnis harus menguasai semua rantainya mulai dari mencari bahan baku, mengolah dan memasarkan atau mencari pasar," harapnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement