Rabu 17 Apr 2019 01:12 WIB

Pengamat: BUMN bukan Lagi 'Lazy Company'

Rhenald Kasali menjawab tudingan tentang holding BUMN.

Rhenald Kasali
Foto: kominfo
Rhenald Kasali

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keberadaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dinilai sudah mampu berkontribusi khususnya dalam bidang ekonomi. Hal itu disampaikan guru besar bidang ilmu manajemen FE Universitas Indonesia, Rhenald Kasali.

Menurut dia, ada banyak fakta yang menunjukkan, BUMN mulai bergerak. Baginya, BUMN tidak lagi menjadi lazy company. Eksistensinya mulai berkontribusi besar pada perekonomian bangsa.

Baca Juga

Pandangan demikian diutarakannya juga sebagai jawaban untuk tudingan-tudingan sementara kalangan yang meragukan peran BUMN. Misalnya, sebut Rhenald, ada cibiran bahwa BUMN selama ini salah kelola.

“BUMN turut berjuang untuk membuka daerah-daerah terpencil, misalnya Angkasa Pura II yang turut mengelola Bandara Silangit, kemudian Banyuwangi yang kini telah diperbesar. Pekerjaan yang kira-kira swasta tidak berani masuk dan pemerintah daerah juga ingin melepas, kini ditangani oleh BUMN," kata Rhenald Kasali dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Selasa (16/4).

"Saat ini, BUMN tengah mengembangkan bandara di Purbalingga. Bayangkan, bertahun-tahun ekonomi sudah berkembang di sana, namun masih kurang perhatian untuk pembangunan bandara di wilayah itu. Jalan tol dibangun juga karena pihak swasta tidak ada yang berminat untuk itu. Maka di situlah BUMN masuk,” sambung dia kemudian.

Lebih lanjut, Rhenald Kasali mengklaim, BUMN ikut mengharumkan nama bangsa, terutama dalam menjalankan amanah Pasal 33 UUD 1945. Misalnya, sebut dia, pengambilalihan kepemilikan sebagian saham PT Freeport Indonesia. Kemudian, soal Blok Mahakam, Blok Rokan--keduanya sudah masuk. Menurut Rhenald, pada intinya BUMN telah menjalankan peran menjalankan amanah tersebut dengan baik.

Dia pun menepis tudingan-tudingan terhadap holding BUMN. Menurut dia, adanya holding BUMN itu dapat membantu kelengkapan dan memperbesar serta memberikan kemampuan untuk melakukan financial laveraging. Laveraging itu berarti menjadi lebih besar, karena kapasitasnya menjadi lebih besar.

“Saya beri contoh dalam debat kemarin, disebutkan oleh satu narasumber, sampai kapanpun Garuda Indonesia tidak akan pernah untung, karena load factor-nya harus mencapai setidaknya 120 persen, jawabnya karena kita melihat Garuda itu untungnya atau bisnisnya penumpang," papar dia.

"Padahal, bisnis terbersar airlines itu ada di jasa cargo dan selama ini cargo yang menikmati bukan airlines, bukan juga Angkasa Pura. Siapa yang menikmati? Yang menikmati adalah pihak asing di Indonesia. Mereka punya perusahaan penerbangan yang khusus mengangkat cargo, mereka mempunyai pelabuhan yang khusus spesialis mengenai cargo,” lanjut Rhenald.

 

Bandingkan dengan Singapura

Rhenald Kasali membuat perbandingan dengan holding seperti yang dilakukan Singapura. Bila Singapore Airlines masuk ke seluruh negara, sebut dia, tidak hanya maskapai itu yang akan masuk, tetapi juga airport-nya. Makanya, bandara Singapura bisa mengelola bandara-bandara lain di dunia.

“Dengan holding, mereka  bisa menjamin, kalau saya mengelola airport di negara Anda, 'Saya akan bawa cargo, saya akan bawa penumpang.' Bisa seperti itu,” ujarnya.

“Indonesia kenapa tidak bisa? Karena kita mainnya sendiri-sendiri, airport sama airlines saling injek-injekkan. Sekarang harus sinergi, sehingga dengan begitu menjadi kuat, besar, dan kita tidak ditertawakan lagi oleh negara tetangga. Airlines kalau hanya mengandalkan passenger sampai kapan pun tidak akan bisa untung,” lanjut Rhenald.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement