Selasa 16 Apr 2019 17:20 WIB

B-20 dan Serapan Minyak Dalam Negeri Persempit Defisit Migas

Tren harga minyak cenderung naik seharusnya mendorong defisit migas menganga.

Rep: Intan Pratiwi/ Red: Friska Yolanda
Aktivitas ekspor impor.
Foto: bea cukai
Aktivitas ekspor impor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca minyak dan gas sepanjang kuartal pertama tahun ini lebih baik dibandingkan periode yang sama tahun 2018. Pertamina mengatakan perusahaan berkontribusi atas mengecilnya ruang defisit migas karena kebijakan membeli minyak mentah dalam negeri dan B-20.

Vice Presiden Coorporate Communication Pertamina, Fajriyah Usman menjelaskan sepanjang kuartal pertama tahun ini program pembelian minyak mentah dari Kontraktor Kerja Kerja Sama (KKKS) berjalan dengan baik. Kebijakan tersebut mampu menekan angka impor karena kebutuhan minyak bisa ditutup dari produksi minyak dalam negeri.

Baca Juga

"Iya betul. Impor crude oil yang dilakukan Pertamina disesuaikan dengan kebutuhan dalam negeri. Sehingga jumlahnya disesuaikan dengan kekurangan jumlah crude yang belum bisa dipenuhi dari dalam negeri," ujar Fajriyah saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (16/4).

Fajriyah merinci dari Januari hingga akhir Maret 2019 kemarin Pertamina menyerap sebesar 127,7 ribu barel per hari. Pasokan minyak tersebut didapat dari 29 KKKS yang bekerja sama dengan Pertamina untuk menjual minyak mentah bagian mereka.

Pengamat Ekonomi Energi dari UGM, Fachmi Radhi menjelaskan selain karena kebijakan membeli langsung minyak mentah, program B-20 juga berkontribusi dari penurunan angka impor pada kuartal pertama tahun ini. Ia menjelaskan apabila program ini terus berjalan dan bisa meningkat sampai program B100 maka neraca migas akan terus membaik.

"Penurunan impor migas itu, terutama impor solar dalam jumlah besar lantaran keberhasilan dalam pengembangan B-20, yang menggantikan impor solar. Ke depan, jika B-20 sudah menjadi B100, diperkirakan tidak ada lagi impor Solar, sehingga berpotensi neraca migas akan surplus," ujar Fachmi saat dihubungi Republika.co.id, Selasa (16/4).

Sayangnya, meski dari sisi impor negara mengalami penurunan angka impor migas. Hanya saja, kondisi ekspor juga tidak menunjukan rapor yang cukup baik. Ekspor migas tercatat juga menurun sepanjang kuartal pertama tahun ini.

Direktur Eksekutif CORE Indonesia, Moh Faisal menilai kondisi neraca migas pada kuartal pertama ini memang unik. Sebab, kata Faisal, dengan tren harga minyak yang cenderung mengalami kenaikan dari Februari ke Maret mestinya mendorong defisit migas lebih menganga.

"Rata rata harga Brent crude di maret 66,1 dolar AS per barel, meningkat dibanding februari 64 dolar AS per barel. Harga WTI bahkan lebih tajam lagi naiknya. Sebagai negara net importir minyak, mestinya kondisi ini mendorong defisit migas," ujar Faisal saat dihubungi, Selasa.

Apalagi, kata Faisal, harga gas juga mengalami penurunan. Padahal, ekspor gas merupakan salah satu andalan negara untuk bisa menjaga kondisi neraca migas. Namun, kondisi yang unik ini, kata Faisal, bisa terlihat karena dua faktor tersebut posisi defisit migas ternyata menipis.

BPS mencatat Kuartal I-2019 impor migas mengalami penurunan lebih dalam bila dibandingkan penurunan ekspor migas. BPS mencatat impor migas turun 28,98 persen di banding kuartal I 2018. Sedangkan ekspor migas turun lebih tipis, yakni 15,17 persen.

Data BPS menunjukkan impor bahan bakar diesel pada kuartal I 2019 turun 32,78 persen bila dibandingkan kuartal I 2018. Dalam nominal, nilainya turun dari 831,5 juta dolar AS menjadi 558,9 juta dolar AS pada kuartal I 2019.

Penurunan impor migas juga terjadi secara bulanan maupun tahunan. Impor migas Maret 2019 tercatat sebesar 1,54 miliar dolar AS, turun 2,7 persen dari Februari 2019 yang tercatat 1,58 miliar dolar AS. Sedangkan secara tahunan turun 31,17 persen bila dibandingkan Maret 2018 yang tercatat 2,23 miliar dolar AS.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement