Sabtu 13 Apr 2019 22:16 WIB

Beda Ambisi Jokowi-Prabowo dalam Naikkan Rasio Pajak

Jokowi memilih menaikkan rasio pajak secara perlahan.

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Friska Yolanda
 Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin serta pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno saat mengikuti debat kelima Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4/2019).
Foto: Republika/Prayogi
Pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo dan Ma'ruf Amin serta pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno saat mengikuti debat kelima Pilpres 2019 di Hotel Sultan, Jakarta, Sabtu (13/4/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Debat pamungkas pemilihan presiden (pilpres) pada Sabtu (13/4) malam hari ini cukup hangat. Tak hanya soal keuangan konvensional saja, keuangan syariah termasuk pengelolaan zakat dan wakaf juga ikut dibahas dalam debat. Keduanya paslon diminta adu ide soal bagaimana menaikkan angka rasio pajak, zakat, dan wakaf. 

Calon presiden (capres) nomor urut 02, Prabowo Subianto mendapat kesempatan pertama menjelaskan idenya. Prabowo memulai penjelasannya dengan mengungkap fakta bahwa ada sekitar Rp 2.000 triliun kekayaan Indonesia yang bocor, termasuk mengalir ke luar negeri. Seharusnya, menurut catatan Prabowo, setiap tahunnya Indonesia mendapat penerimaan termasuk dari pajak hingga Rp 4.000 trilun. Prabowo mengaku memperoleh data tersebut dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Baca Juga

Berkaca pada data tersebut, Prabowo berjanji untuk bisa mengembalikan lagi angka penerimaan negara bisa dikembalikan ke angka Rp 4.000 triliun seperti seharusnya. Demi mencapai target tersebut, sekaligus demi merealisasikan kenaikan rasio pajak hingga 16 persen, dari angka saat ini 10,3 persen, Prabowo mengandalkan pemanfaatan teknologi informasi dan transparansi dalam pengelolaan perpajakan. 

"Tahun 1997 Orde baru, tax ratio sempat 16 persen, sekarang merosot 10 persen. Kita kehilangan 60 miliar dolar AS setiap tahun," kata Prabowo dalam debat kelima, Sabtu (13/4).

Prabowo berkaca pada negara lain di Asia Tenggara seperti Malaysia dan Thailand, bahwa rasio pajak mereka bisa menyentuh 19 persen, jauh di atas angka yang dimiliki Indonesia. Prabowo yakin, ketika pengelolaan pajak bisa dilakukan secara transparan, maka rasio pajak akan naik tajam hingga setidaknya mencapai 16 persen dalam lima tahun. 

Sementara capres 01, Joko Widodo (Jokowi), mengkritisi rencana Prabowo untuk menaikkan rasio pajak secara drastis dari angka 10,3 persen menjadi sekitar 16 persen dalam kurun waktu lima tahun. Berdasarkan perhitungannya, demi mencapai target ambisius tersebut maka pemerintah harus menaikkan rasio pajak setidaknya 5 persen. Bila dihitung, maka angka ini setara dengan Rp 750 triliun dari total PDB Indonesia sekitar Rp 15.000 triliun. 

"Artinya Rp 750 triliun yang akan ditarik jadi pajak. Apa yang terjadi? Akan terjadi shock economy. Kami naikkan tax ratio secara gradual dengan naikkan tax base," jelas Jokowi. 

Berbeda dengan Prabowo yang cukup ambisius dalam naikkan rasio pajak, Jokowi memilih menaikkan rasio pajak secara perlahan. Ia mengingatkan bahwa melalui amnesti pajak yang lalu, Indonesia berhasil mencatatkan pengampunan hingga sekitar Rp 4.800 triliun, dengan penerimaan baru sekitar Rp 114 triliun. Artinya, Jokowi memilih melanjutkan kebijakan yang sudah ia lakukan sepanjang 4,5 tahun terakhir dalam menarik penerimaan pajak, termasuk menaikkan rasio pajak.

"Kita ingin agar tax base kita semakin besar sehingga income semakin banyak. Kalau langsung disampaikan tadi, akan ada shock economy," kata Jokowi.

Kembali menanggapi Jokowi, Prabowo menepis tudingan bahwa dirinya akan menciptkan guncangan ekonomi atau shock economy. Prabowo menjelaskan, kenaikan rasio pajak sebesar 5 persen bisa dicapai dengan melakukan digitalisasi pengelolaan pajak dan mengedepankan transparansinya. Prabowo berkiblat pada negara lain seperti Malaysia dan Thailand yang menerapkan digitalisasi pengelolaan pajak dan transparansinya demi menggaet lebih banyak wajib pajak. 

"Saya setuju kami ingin lebarkan tax base dan tak ingin ada shock economy. Namun kita harus berani mengejar mereka yang selama ini hindari yang seharusnya bayar (pajak)," katanya.

Seberapa tertarik Kamu untuk membeli mobil listrik?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement