Kamis 11 Apr 2019 17:48 WIB

Indef Minta Rancangan Pertumbuhan Ekonomi Disusun Matang

Selama lima tahun terakhir angka pertumbuhan ekonomi stagnan di 5 persen

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Nidia Zuraya
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi
Foto: pixabay
Ilustrasi Pertumbuhan Ekonomi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Insitute for Development of Economics and Finance (Indef) meminta agar pemerintahan baru ke depan dapat menyusun rancangan dan target pertumbuhan ekonomi secara matang. Pemerintahan baru juga harus memperhitungkan tantangan ekonomi global dalam jangka pendek dan menengah agar kebijakan yang tidak merugikan kondisi dalam negeri.

Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014-2019 menargetkan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 7 persen. Namun, hingga hampir lima tahun berjalan, pertumbuhan stagnan di 5 persen.

Baca Juga

Ekonom Senior Indef, Fadhil Hasan, mengatakan besarnya disparitas dan realisasi tersebut akibat perencanaan yang tidak matang. “Saat itu tidak diperhitungkan faktor-faktor global. Ternyata harga komoditas turun, lalu ada fenomena normalisasi kebijakan moneter AS. Sebagai negara dengan ekonomi terbuka, faktor eksternal sangat berpengaruh,” kata Fadhil di Jakarta, Rabu (11/4).

Fadhil menegaskan, para capres-cawapres harus mengetahui dinamika global dengan tepat. Baik jangka pendek maupun menengah. Sebab hal itu akan menentukan apakah kondisi global mampu atau tidak untuk mendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat.

Apalagi, ekonomi dunia dalam tiga tahun mendatang diprediksi kurang bergairah. Awal tahun ini, Dana Moneter Internasional (IMF) bahkan telah mengoreksi proyeksi pertumbuhan ekonomi 2019 dari 3,7 persen menjadi hanya 3,3 persen.

Lebih lanjut, ia mengatakan ada kemungkinan resesi ekonomi di Amerika Serikat dalam 2 hingga 3 tahun ke depan. Hal itu sedikit banyak akan memperngaruhi ekonomi dunia dan Indonesia sebagai negara berkembang tidak menutup kemungkinan akan ikut terdampak. 

Selain di AS, Cina juga tengah mengalami perlambatan. Dalam tiga dekade ke belakang, ekonomi Cina bisa tumbuh dua digit. Namun, saat ini hanya sekitar 6,2-6,3 persen. “Ini cukup signifikan dan berdampak ke Indonesia karena Cina merupakan mitra ekspor terbesar,” ujar dia.

Di sisi lain, penurunan harga komoditas di pasar global harus menjadi perhatian. Mengingat, 60 persen ekspor Indonesia masih mengandalkan komoditas mentah ketimbang barang jadi. Karena itu, Fadhil menilai ekspor komoditas tidak bisa dijadikan sebagai sumber perekonomian dalam 2-3 tahun ke depan.

Sementara itu, Ekonom Senio Indef, Nawir Messi, menambahkan, pemerintah ke depan jangan sebatas membanggakan revolusi industri keempat tanpa persiapan sumber daya manusia yang memadai. Ia mengatakan, peta jalan revolusi industri 4.0 hanya sekadar menjadi rencana jika tidak diimbangi upaya perbaikan kualitas tenaga kerja. Khususnya tingkat pendidikan.

“Omong kosong 4.0 kalau angkatan kerja kita saja masih didominasi lulusan Sekolah Dasar,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement