REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Astria Hijrani sangat bersemangat saat ditanya mengenai perusahaan rintisan yang didirikannya yakni Sharmi, aplikasi yang mempertemukan penjahit rumah, toko kain dan juga pelanggan. Perusahaan itu baru resmi beroperasi sejak awal 2019, tetapi validasi pasar dilakukan manual sejak beberapa tahun yang lalu.
Astria yang merupakan dosen ilmu komputer Universitas Negeri Lampung (Unila) itu menjelaskan perusahaan yang didirikannya berdasarkan kondisi yang ada di masyarakat. "Terutama di daerah Pringsewu, banyak masyarakat yang punya mesin jahit dan bisa menjahit tetapi malah menjadi buruh harian di pabrik keset. Sementara banyak masyarakat yang membutuhkan tenaga tukang jahit," ujar Astria saat ditemui pada pembukaan program kamp Calon Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi dari Perguruan Tinggi (CPPBT-PT) Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) di Jakarta, Senin (8/4) malam.
Dalam menjalankan roda bisnisnya, dirinya juga memberikan pelatihan kepada para penjahit binaannya. Ia juga memberi masukan kepada para pelanggan, bagaimana menentukan model baju seperti apa yang diinginkan melalui aplikasi yang disediakan.
Potensi bisnis itu, kata dia, cukup besar dikarenakan banyak masyarakat yang membutuhkan di daerah itu. Ia berharap bisnisnya bisa berkembang dengan baik serta bisa meningkat menjadi Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PPBT). Saat ini, perusahaan itu baru memiliki lima mitra dengan omzet Rp 25 juta per bulan.
"Peluangnya sangat besar, jika kita bisa mengelola dengan baik bisnis ini," kata Astri yang bekerja sama dengan mahasiswa dalam mendirikan perusahaan itu.
Dosen Universitas Malikul Saleh, Sulhatun, juga mendirikan perusahaan rintisan di bidang energi, yakni alat pyrolisa biomassa 4in1 dan alat destilasi untuk pemurnian asap cair. Dengan alat tersebut, proses pyrolisa terhadap biomassa untuk memperoleh bio oil atau asap cair.
"Alat yang kami rancang dengan melakukan modifikasi dalam proses kondensasinya, sehingga bisa meningkatkan nilai produk hingga 300 persen dari hasil semula," jelas Sulhatun.
Untuk aplikasinya, hasil proses tersebut digunakan di bidang pangan yakni untuk pengawetan makanan, yang dihasilkan melalui proses lanjutan pemisahan TAR sehingga menghasilkan asap cair yang aman. Asap cair itu digunakan untuk mengawetkan pangan yang bisa bertahan hingga satu tahun.
Sulhatun berharap melalui keikutsertaan dalam CPPBT-PT dapat meningkatkan perusahaan rintisannya itu. Sulhatun juga yakin perusahaannya bisa berkembang dengan baik diantara semakin banyaknya perusahaan rintisan lainnya.
Direktur Jenderal (Dirjen) Penguatan Inovasi Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) Jumain Appe mengatakan sejak 2016, kementerian memiliki kebijakan berupa pendanaan untuk mengembangkan produk inovasi teknologi yang berasal dari Perguruan Tinggi melalui program CPPBT-PT. Program itu bertujuan untuk mendorong penyempurnaan produk inovasi teknologi yang sudah masuk pada kategori prototype dan fase pra-komersial untuk disiapkan menuju komersial.
Selama empat tahun terakhir ini, Kemenristekdikti sudah membina dan memfasilitasi Calon PPBT dari Perguruan Tinggi sebanyak 558 Calon PPBT yang berasal dari seluruh wilayah Indonesia. Alih-alih berkembang, dari total 558 calon perusahaan pemula yang naik kelas ke PPBT hanya 59 perusahaan atau hanya 10,57 persen. Oleh karena itu, pihaknya menyelenggarakan CPPBT-PT untuk memberikan bekal kepada perusahaan rintisan mengenai bagaimana menjalankan bisnis berkelanjutan, sehingga perusahaan rintisan itu tidak layu sebelum berkembang.
Pakar perusahaan rintisan Kurnadi Gularso mengatakan banyaknya perusahaan rintisan yang terhenti dikarenakan kondisi tidak jelas, bergejolak, rumit dan tidak menentu atau yang dikenal dengan volatile, uncertain, uncertain, dan ambiguous (VUCA). "Dengan kondisi VUCA seperti saat ini, perusahaan rintisan harus berhenti memakai strategi sustainable competitive advantage atau keunggulan bersaing yang berkelanjutan dan beralih ke strategi rangkaian transient advantages atau keunggulan yang bersifat sementara. Tujuannya agar bisnisnya dapat bertahan hidup dan bahkan secara berkelanjutan tumbuh dengan signifikan," kata Kurnadi.
Kurnadi menjelaskan perusahaan rintisan perlu menerapkan disruptive business model innovation (DBMI) atau inovasi model bisnis yang bersifat disruptif untuk mencapai transient advantages. Untuk menerapkan DBMI, maka perusahaan memiliki pemimpin yang bisa berpikir kritis, fokus pada pelanggan, dan organisasi harus memiliki dan selalu meningkatkan kapabilitas serta merekonfigurasi ulang secara terus-menerus sumber dayanya.
"Kapabilitas merekonfigurasi ulang sumber daya secara berkelanjutan tersebut menjadi prasyarat tidak hanya dalam kesuksesan menerapkan transformasi inovasi namun juga dalam rangka meningkatkan bisnis sehingga bisnis mencapai transient advantage dengan efektif dan efisien," ujarnya.
Sedangkan untuk meningkatkan pencapaian transient advantage, perusahaan rintisan perlu menerapkan ikatan komunitas, dengan komunitas-komunitas terkait dengan tujuan perusahaan itu.
Kurnadi juga memberi saran agar pemerintah membangun ekosistem yang mendukung tumbuh berkembangnya perusahaan rintisan. Pemerintah juta perlu proaktif dan responsif dalam menyediakan regulasi yang mendukung perusahaan rintisan, program yang mendorong pertumbuhan seperti insentif pajak, subsidi dan bantuan.