REPUBLIKA.CO.ID, CILEGON -- Sepanjang 2018, PT Krakatau Steel (Persero) Tbk mencatat rugi bersih sebesar 74,82 juta dolar AS atau turun 8,48 persen dibandingkan tahun sebelumnya 81,74 juta dolar AS. Di sisi lain, perseroan dapat meningkatkan pendapatan bersih 20,05 persen menjadi 1.739,54 dolar AS, sementara volume penjualan meningkat 12,84 persen menjadi 2.114.050 ton baja dibandingkan periode yang sama tahun lalu sebesar 1.900.075 ton.
Direktur Utama Krakatau Steel Silmy Karim mengatakan perseroan terus memperbaiki kinerja dari tahun ke tahun. Perseroan cukup merasakan kenaikan harga jual produk baja. Rata-rata harga jual produk HRC meningkat 10,03 persen menjadi 657 dolar AS per ton, CRC naik 6,72 persen menjadi 717 dolar AS per ton, dan Wire Rod meningkat 15,03 persen menjadi 635 dolar AS per ton.
“Ini adalah salah satu ciri bahwa pasar baja domestik membaik,” ujarnya dalam keterangan tulis yang diterima Republika.co.id, Selasa (2/4).
Kinerja perseroan juga membaik dari performa perusahaan asosiasi dan joint venture yang menjadi rugi 5,31 juta dolar AS selama 2018 dari rugi 41,24 juta dolar AS pada 2017. Adapun proyek pembangunan pabrik Hot Strip Mill 2 saat ini sudah mencapai 91,52 persen konstruksi fisik per 31 Desember 2018.
“Pabrik ini akan menghasilkan tambahan 1,5 juta ton per tahun produk HRC bagi perseroan, yang mechanical completion akan selesai pada kuaral II 2019,” ucapnya.
Sementara proyek Blast Furnace sudah dilakukan penyalaan perdana pada 20 Desember lalu, dan saat ini sedang tahap persiapan uji coba (commissioning).
Silmi menambahkan saat akhir tahun lalu, perseroan juga telah menandatangani kesepakatan dengan sejumlah BUMN karya tentang penggunaan baja dalam negeri untuk proyek-proyek yang dijalankan oleh pemerintah. Hal ini diharapkan mampu meningkatkan kinerja perseroan ke depan.
“Pada proyek pembangunan jalan tol layang Jakarta-Cikampek atau Japek II Elevated Toll Road suplai baja perseroan per Desember 2018 telah mencapai 151.090 ton,” ucapnya.
Dia melanjutkan sentimen positif lainnya adalah keberhasilan dalam perpanjangan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk Hot Rolled Coil (HRC) yang diimpor dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT), India, Rusia, Kazakhstan, Belarusia, Taiwan dan Thailand.
Perpanjangan BMAD tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 25/PMK.010/2019 tentang Pengenaan Bea Masuk Anti Dumping Terhadap Impor Produk Canai Lantaian Dari Besi Atau Baja Bukan Paduan Dari Negara Republik Rakyat Tiongkok, India, Rusia, Kazakhstan, Belarusia, Taiwan, dan Thailand. Aturan ini mulai berlaku pada 2 April 2019 sampai lima tahun ke depan.
Pada 2019, perseroan merencanakan untuk menambah jumlah porsi penjualan ekspor yakni sebesar 650.000 ton HRC/P ke Malaysia, India dan negara lainnya. Pada Maret 2019 ini, sebanyak 12.000 ton HRC/P telah diekspor ke Malaysia, seiring dengan kebijakan otoritas setempat yang menyatakan dicabutnya aturan anti dumping bagi Indonesia karena ketiadaan produsen HRC dalam negeri Malaysia.
Sebelumnya, juga telah terjadi revisi Peraturan Kementerian Perdagangan 22/2018 menjadi Permendag 110/2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja. Dalam aturan baru tersebut, pertimbangan teknis dari Kementerian Perindustrian yang sebelumnya tidak ada, kini diadakan lagi. Revisi aturan ini akan semakin mendorong geliat pasar baja dalam negeri dan mengendalikan masuknya baja impor.
Di sisi internal, perseroan melakukan berbagai upaya perbaikan kinerja yang sehat dan tumbuh secara berkesinambungan. Di antaranya penyelesaian proyek strategis, transformasi sales dan marketing, program efisiensi biaya melalui pola operasi yang optimal, optimalisasi aset, dan program restrukturisasi keuangan.