REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pola ekspor Indonesia tidak lagi proposional sejak 2012 hingga sekarang. Untuk itu Indonesia tidak bisa lagi bergantung pada permintaan.
Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kemendag Kasan Muhri mengatakan, dari 2000 sampai sekarang, pola ekspor khususnya non migas hingga 2012 sejalan dengan apa yang dilakukan di negara tujuan ekspor. Tapi setelah 2012 ke sini ini ada pola yang tidak proposional. Semua itu berlaku di pasar tradisional seperti Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, Jepang dan Cina.
"Semua negara itu polanya tidak ada sama sekali dengan trade ekspor kita," kata dia, Rabu (27/3).
Contohnya ekspor periode 2014-2018. Pada 2014 ekspor non migas turun, 2015 masih turun, pada 2016 sudah mendekati nol, namun 2017 melonjak di atas 15 persen, 2018 sedikit melambat menjadi tujuh persen dan dua bulan terakhir tahun ini, ekspor Indonesia mengalami penurunan.
"Makanya strategi menyerang itu tadi bukan cuma ke negara-negara yang tradisional. Negara Afrika potensinya besar. Ini yang juga sedang dilakukan," kata dia.
Penjajakan awal serangan ekonomi ini tentunya dilakukan melalui Perjanjian Perdagangan atau PTA produk apa saja yang bisa dipertukarkan penurunan tarifnya. Sebab, salah satu hambatan di negara-negara emerging adalah tarif biaya masuk. Negara maju sudah menerapkan non tarif.
Di samping itu, strategi yang juga dilakukan Kemendag adalah menyadari emerging market yang dekat termasuk ASEAN. Pihaknya pun menyiapkan perwakilan untuk mengatasi negara-negara emerging yang tidak jauh terutama Asia Selatan seperti Srilanka, Bangladesh dan Pakistan. Myanmar dan Vietnam juga masuk dalam negara tujuan yang akan dibuka sebagai pasar tujuan ekspor.
Perwakilan tersebut bergunana sebagai marketing yang bisa memberikan informasi termasuk membantu dunia usaha masuk ke pasar tersebut.
"Sebentar lagi kita buka di Turki. Ini sebagian strategi kita bagaimana mengkompensasi pelemahan dari negara-negara tujuan ekspor yang tradisional," ujar dia.
Pendekatan bilateral terhadap beberapa negara juga terus dilakukan seperti Filipina, AS dan India sebagai bagian dari strategi penyerangan yang dilakukan. Termasuk melakukan pendekatan multilateral.
Sementara menyerang dengan banyak pasar baru, penguatan daya saing domestik terus diperkuat baik hard infrastruktur maupun soft infrastruktur sebagai amunisinya. Soft infrastruktur yang dimaksud berupa perijinan, prosedur, kemudahan dan iklim investasi.
Terkait daya saing, diakui Kasan banyak produk dalam negeri yang mampu bersaing di ranah ekspor. Khusus di sektor ritel, ia melanjutkan, jika sudah bisa bersaing di Indonesia berarti bisa bersaing di ASEAN.
"Misalnya JCo donuts, franchisenya sudah bisa ke negara lain. Kalau itu bisa masuk, saya kira itu termasuk bagian ekspor jasa dan barang," kata dia.
Hal sama juga dilakukan Alfamart yang secara besar tumbuh di Filipina. Tingginya ekspor membuat Indonesia menghadapi tekanan termasuk salah satunya dari Filipina. Neraca perdagangan Indonesia dan Filipina surplus 5,6 miliar dolar AS tahun lalu.
"Saya mengerti kenapa Filipina marah karena defisit mereka besar. AS juga begitu, cuma ini latah," katanya.
Dalam mengatasi masalah dengan Filipina, Indonesia telah melakukan pendekatan dari Presiden ke bawah. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita juga akan kembali bertolak ke sana guna melanjutkan pembicaraan.