REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pertemuan Southeast Asian Fisheries Development Center (SEAFDEC) Council Meeting ke-51 memasuki hari kedua pada Selasa, (19/3). DI hari kedua ini, negara anggota melakukan pembahasan komitmen regional terkait keberlanjutan sumber daya perikanan di kawasan Asia Tenggara.
Pembahasan ini dilakukan 11 (sebelas) negara anggota SEAFDEC bersama mitra kerja SEAFDEC. Mitra kerja ini terdiri dari Food and Agriculture Organization (FAO), United States Agency for International Development, Regional Development Mission for Asia (USAID RDMA), dan Coral Triangle Initiative on Coral Reefs Fisheries and Food Security (CTI-CFF).
Kebijakan penanganan isu penting kelautan dan perikanan utamanya pemberantasan Illegal, Unregulated, and Unreported (IUU) Fishing di kawasan ASEAN menjadi sorotan utama. Negara anggota menyepakati untuk memperkuat kerja sama pencegahan dan pemberantasan IUU Fishing di kawasan ASEAN melalui prinsip ketertelusuran (traceability) dan transparansi.
Untuk mendukung hal tersebut, disepakati untuk melanjutkan sejumlah program. Beberapa program di antaranya; ASEAN Guidelines for Preventing the Entry of Fish and Fishery Products from IUU Fishing Activities into the Supply Chain, ASEAN Catch Documentation Scheme, Regional Fishing Vessels Record, Regional Cooperation to Support the Implementation of the Port State Measures (PSM) in ASEAN Region, dan Regional Plan of Action for the Management of Fishing Capacity.
Indonesia sebagai lead country ASEAN untuk kegiatan Pemberantasan IUU Fishing berperan signifikan dan berkontribusi besar dalam pembahasan isu ini. Salah satunya dengan disetujuinya usulan untuk melanjutkan pengembangan dan peningkatan kapasitas bagi negara anggota anggota melalui pelatihan dan bantuan teknis.
“Kita perlu meningkatkan pelatihan dan bantuan teknis untuk meningkatkan mutu dan kualitas perikanan kita agar sesuai dengan standar yang ditetapkan. Dengan demikian diharapkan produk perikanan negara-negara anggota dapat bersaing di pasar global maupun internasional,” ujar Kepala Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan (BRSDM), Sjarief Widjaja, dalam keterangan yang diterima Republika, Rabu (20/3).
Pada kesempatan ini, Sjarief Widjaja, bertindak sebagai Pimpinan Sidang (Chair) SEAFDEC Council Meeting ke-51. Sementara Staf Ahli Menteri Bidang Ekologi Sumber Daya Laut, Aryo Hanggono, bertindak sebagai Ketua Delegasi RI.
Di sektor perikanan tangkap, aspek keberlanjutan menjadi sorotan. SEAFDEC diharapkan mampu mengidentifikasi kebutuhan negara anggota dalam pelaksanaan ratifikasi Port State Measures Agreement (PSMA) sebagai suatu upaya pemberantasan IUU Fishing.
“Sekarang semakin banyak negara yang meratifikasi PSMA. Namun sebagian lainnya masih menemukan hambatan yang perlu untuk dicarikan solusinya,” lanjut Sjarief.
Dalam pertemuan ini juga dibicarakan rencana aksi regional untuk Management of Fishing Capacity, rencana aksi regional untuk pengelolaan dan pemanfaatan Neritic tunas, dan panduan regional untuk manajemen rantai dingin produk seafood. SEAFDEC juga akan meningkatkan kerja sama teknis untuk mengembangkan kapasitas negara anggota agar dapat mengelola sumber daya perikanan secara berkelanjutan sesuai standar global.
Adapun di sektor perikanan budidaya berkelanjutan, negara anggota menaruh perhatian besar pada pengelolaan dan konservasi sidat (Tropical Anguillid Eel), kesiapsiagaan darurat, dan sistem tanggap akuatik untuk manajemen yang efektif dari wabah penyakit lintas batas di Asia Tenggara.
Kepemimpinan Indonesia dalam membahas isu-isu terkait dibuktikan dengan disetujuinya usulan-usulan Indonesia agar SEAFDEC terus meningkatkan capacity building dan bantuan teknis kepada anggota untuk memperkecil kesenjangan terkait pelaksanaan PSMA. Indonesia juga menilai perlunya riset lanjutan terkait pengelolaan dan pemanfaatan neritic tunas dan sidat.