REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menyikapi Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2016 terkait percepatan pembangunan industri perikanan nasional, Kamar Dadang dan Industri (Kadin) Indonesia mengusulkan agar pemerintah merevisi seluruh peraturan yang selama ini menghambat pembangunan industri perikanan.
Wakil Ketua Umum Kelautan dan Perikanan Kamar Dagang Indonesia, Yugi Prayanto mengatakan saat ini untuk mendukung Inpers tersebut pemerintah sedang membuat roadmap industri perikanan. Namun, yang krusial menurutnya adalah menghapus PP Nomor 57 dan PP Nomor 56 yang menghambat para nelayan untuk menangkap ikan dan menghambat investasi perusahaan.
Saat ini menurut Yugi, Menko Maritim sedang mencari titik tengah agar persoalan ini bisa selesai. Namun, secara kacamata Kadin PP tersebut diubah saja, sebab hal tersebut menghambat investasi.
"Untuk kebaikan sih, mestinya sih diubah ya, permennya diubah, malah ada yang minta dicabut. Permen 56,57 yang cangkrang juga. Spiritnya Menko Maritim mau membenahi dan cari titik temu. Nasionalisme juga kita angkat, kalau kita bisa investasi kenapa nggak kita, ini kan permodalan kan. OJK dan perbankan harus turun. Kendalanya, kan peraturnanya ketat. Modal 10-20 persen," ujar Yugi di Kantor Menko Maritim, Senin (19/9).
Menurut Yugi salah satu kendala yang dialami perusahaan adalah dengan sulitnya berinvestasi. Kementerian KKP meminta agar perusahaan bisa berinvestasi di kapal yang berada di atas 150 GT. Padahal hal tersebut menjadi sulit, mengingat untuk mendapatkan ikan dengan kualitas standar industri memerlukan kapal besar.
Ia mengatakan, hal tersebut harus diikuti oleh perusahaan galangan kapal Indonesia. Lokal sendiri dalam hal ini PT PAL menyanggupi pembuatan kapal dengan kapasitas 1.000 GT. Meski belum ada realisasi dan orderan, namun hal ini baiknya dibuat pilot project untuk mendukung percepatan industri perikanan.
Yugi menambahkan, akibat dari persoalan ini industri perikanan saat ini mengalami kekurangan pasokan. Selain karena permasalahan di hulu, perusahaan tak mendapatkan kepastian kapal mana yang mau mengangkut. Perusahaan selama ini kapasitas serapannnya masih dibawah kapasitas terpasang.
"Dibitung aja cuman 57 persen selama ini. Dua tahun terakhir ini malah cuman 20 persen gara gara permen ini," ujar Yugi.
Selain persoalan investasi perusahaan. Saat ini di hulu, para nelayan terhambat untuk menangkap ikan dengan cantrang. Kementerian Kelautan dan Perikanan mengeluarkan kebijakan yang melarang para nelayan menggunakan cantrag untuk menangkap ikan. Padahal, alat tersebut menjadi sangat krusial bagi para nelayan.
"Iya, itu juga masalah Krusial. Ini harus dicari titik temunya," ujar Yugi.