Senin 18 Mar 2019 19:25 WIB

Gapki: Pelarangan Biofuel Sawit Berpotensi Timbulkan Konflik

Komisi Eropa memasukkan minyak kelapa sawit dalam kategori produk berisiko tinggi.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nidia Zuraya
Perkebunan kelapa sawit (ilustrasi)
Perkebunan kelapa sawit (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua III Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Togar Sanggani menyebutkan, rencana Komisi Eropa untuk mengadopsi draft Delegated Regulation yang mengklasifikasikan minyak kelapa sawit sebagai komoditas tidak berkelanjutan risiko tinggi menimbulkan potensi kerugian hingga 4 miliar dolar AS. Nominal tersebut merupakan nilai ekspor minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) Indonesia ke Uni Eropa.

Di sisi lain, Togar menambahkan, isu ketenagakerjaan akan menjadi dampak non-ekonomi yang timbul. "Konflik sosial berpotensi muncul," tuturnya ketika ditemui usai konferensi pers di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta, Senin (18/3).

Baca Juga

Togar mengatakan, pengusaha kini hanya bisa wait and see menunggu pasal-pasal yang akan dituliskan Komisi Eropa dalam regulasi tersebut. Keputusannya bisa didapatkan dalam kurun waktu dua bulan, tapi tidak menutup kemungkinan untuk lebih cepat.

Togar tidak ingin berandai-andai terhadap keputusan Parlemen Uni Eropa terhadap draft Delegated Regulation. Tapi, ia berharap, draft tersebut tidak akan diadopsi mengingat konteks yang terbilang diskriminatif terhadap komoditas sawit Indonesia dan negara lain seperti Malaysia.

 

Dalam Delegated Regulation tersebut, Togar menyebutkan, Komisi Eropa membicarakan dan membandingkan perkembangan luas dari kelapa sawit dengan soya bean atau kacang kedelai milik Amerika Serikat. Dari 2008, luas kebun kelapa sawit sekitar 700.000 hektar, sementara soya bean hingga 3,1 juta hektare.

Tapi, dalam perhitungan akhir, soya bean dikategorikan sebagai komoditas dengan risiko rendah sedangkan kelapa sawit masuk dalam risiko tinggi dari segi deforestasi. "Secara sains, ini tidak jelas. Makanya, kami anggap klasifikasi tersebut berdasarkan ilmu ‘main-main’," kata Togar.

Togar menambahkan, sentimen Komisi Eropa terhadap kelapa sawit sudah berlangsung sejak semester dua tahun lalu. Atas hal ini, ekspor komoditas ke Uni Eropa turut mengalami penurunan hingga lima persen secara year-on-year atau jika dibanding dengan semester kedua tahun 2017.

Penurunan tersebut menjadi kekhawatiran besar bagi Togar dan pengusaha kelapa sawit. Apabila dibiarkan terus menerus, industri dan petani akan mengalami kerugian. Terlebih, sampai saat ini, UE masih menjadi pasar ekspor kedua terbesar komoditas kelapa sawit Indonesia, setelah India.

Dari beberapa negara di Uni Eropa, Togar menyebutkan, Spanyol dan Italia memiliki kontribusi terbesar sebagai tujuan ekspor kelapa sawit. Baru-baru ini, Prancis juga gencar menerima kelapa sawit sering dengan ekspansi perusahaan Total terhadap pembangunan biodiesel.

Pemerintah menilai sikap UE tersebut sebagai langkah diskriminatif terhadap komoditas sawit nasional. Pemerintah akan mengirimkan delegasi ke Eropa untuk bertemu dengan Parlemen pada bulan depan dan siap memberikan pembelaan komoditas sawit nasional.

Selain itu, pemerintah siap membawa tudingan diskriminatif ini ke World Trade Organization (WTO) apabila regulasi ini benar diberlakukan UE.

Sementara itu, Direktur Perdagangan, Komoditas, dan Kekayaan Intelektual, Kementerian Luar Negeri Tri Purnajaya mengatakan, sikap Indonesia sudah mendapat dukungan dari ASEAN. "Baik dari tiap negara yang tergabung di ASEAN ataupun ASEAN secara kelembagaan," ujarnya.

Menurut Tri, solidaritas ASEAN bahkan sudah ditunjukkan melalui sikap tegas ASEAN untuk mengundur kemitraan dengan UE. Sikap ini diambil melihat langkah EU yang tidak adil dalam memperlakukan kelapa sawit dalam pasar komoditas UE.

Langkah UE dinilai sebagai kompromi politik di internal UE yang bertujuan mengisolasi dan mengecualikan minyak kelapa sawit dari sektor biofuel UE. Hal ini akan menguntungkan minyak nabati lainnya, termasuk rapeseed yang diproduksi oleh UE. "Ini bertentangan dengan prinsip perdagangan internasional, sehingga kami akan pantau terus," tutur Tri.

Saat ini, Komisi Eropa telah mengadopsi Delegated Regulation no. C (2019) 2055 Final tentang High and Low ILUC Risk Criteria on Biofuels pada 13 Maret 2019. Dokumen ini akan diserahkan ke European Parliament dan Council untuk melalui tahap scrutinize document dalam kurun waktu dua bulan ke depan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement