Jumat 15 Mar 2019 17:41 WIB

Urgensi Perbaikan Data Pangan Kurangi Kesemrawutan Impor

Bila data acuan tidak dapat diandalkan, hasilnya adalah kebijakan yang tidak efektif.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Gita Amanda
Ilustrasi ekspor impor.
Foto: ANTARA FOTO/Didik Suhartono
Ilustrasi ekspor impor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menilai, pemerintah perlu melakukan perbaikan data pangan untuk mengurangi kesemrawutan impor. Hal ini juga perlu dilakukan sebagai tindak lanjut dari berbagai rekomendasi yang sudah dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait impor.

Ilman mengatakan, kegiatan impor yang belum efektif sebenarnya didasarkan pada acuan data sebagai dasar saat melakukan impor. Dampaknya, apabila data acuan tidak dapat diandalkan, hasilnya adalah kebijakan yang tidak efektif.

Baca Juga

Sementara itu, permasalahan data pangan yang selama ini selalu dijadikan acuan untuk melakukan impor belum sepenuhnya bisa diandalkan. Perbaikan data baru dilakukan pada komoditas beras yang baru dilakukan pada akhir Oktober 2018.

"Sedangkan data-data komoditas lain seperti jagung dan kedelai dapat dikatakan belum terintegrasi menjadi data tunggal yang dapat diandalkan pemerintah dan publik," katanya dalam rilis yang diterima Republika.co.id, Jumat (15/3).

Konsekuensi dari data pangan bermasalah ini adalah harga yang cenderung bergejolak di tengah pernyataan surplus produksi oleh pemerintah. Padahal, ketika harga bergejolak, Kementerian Perdagangan (Kemendag) pasti perlu melakukan tindakan untuk meredam gejolak tersebut, termasuk dengan impor.

Berdasarkan Laporan Tindak Lanjut Rekomendasi BPK, salah satu yang ditekankan adalah adanya Tata Niaga Impor Bahan Pangan yang dinilai "Belum Patuh". Temuan BPK menyatakan, Kemendag melakukan penerbitan impor tidak sesuai dengan data produksi dan kebutuhan dalam negeri sampai saat ini.

Ilman mengatakan, dalam laporan tersebut juga tertulis bahwa penerbitan persetujuan impor juga tidak melalui rapat koordinasi dan atau tanpa rekomendasi kementerian terkait. Selain itu, kinerja efektivitas ketersediaan dan stabilitas harga juga dinilai BPK tidak efektif. "Sebab, kurang optimalnya perencanaan distribusi logistik dan pengelolaan data yang tidak dimanfaatkan dengan baik," tuturnya.

Ilman menilai, dua temuan tersebut menunjukkan bahwa pemerintah perlu mengevaluasi skema metode perhitungan jumlah produksi komoditas strategis lainnya. Hal ini tidak hanya menjadi tugas Kemendag, juga kementerian atau lembaga terkait lainnya.

Selain itu, Ilman menjelaskan, pemerintah juga perlu melakukan pemantauan harga secara periodik. Saat ini, sudah ada beberapa wadah pemantauan harga yang dirilis pemerintah seperti Panel Harga Pangan Badan Ketahanan Pangan Kementan dan juga Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional milik Bank Indonesia.

"Sebaiknya rekomendasi impor yang dikeluarkan juga mengacu pada tingkat harga yang dijabarkan pada wadah-wadah tersebut," ucapnya.

BPK menyebut, otoritas perdagangan masih belum menuntaskan 19 rekomendasi di bidang tata kelola dan kebijakan impor pangan sejak 2014 hingga 2018. Dalam laporan ini, Kemendag sebagai otoritas terkait dinilai belum efektif dalam melaksanakan proses kegiatan impor komoditas sesuai aturan yang berlaku.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement