REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Industri media, khususnya media cetak, tengah mengalami fase turbulensi yang sangat luar biasa, seiring dengan pesatnya perkembangan teknologi digital. Dampak dari perkembangan teknologi digital pada industri media cetak bisa dilihat dalam beberapa dekade terakhir, di mana jumlah pembaca koran menurun secara signifikan.
Bahkan tahun 2008 disebut- sebut menjadi gelombang pertama matinya industri media cetak di sejumlah negara besar seperti di Amerika Serikat maupun di Eropa, tak terkecuali di Indonesia yang ditandai dengan ‘tumbangnya’ tabloid Bola yang menjadi salah satu legenda tabloid olahraga di tanah air.
Hal ini terungkap dalam Talkshow Jurnalistik berajuk 'Industri Media dan Praktik Jurnalistik di Era Digital' yang digelar Program Studi (Prodi) Ilmu Komunikasi Universitas Islam Sultan Agung (Unissula), di Gedung Bersama lantai 10 kompleks kampus Unissula, Kaligawe, Kota Semarang, Kamis (14/3).
Redaktur Pelaksana Republika Online, Elba Damhuri dalam talkshow ini mengungkapkan, satu dekade lalu, jumlah pembaca Koran di tanah air masih mencapai 9,5 juta orang. Memasuki tahun 2017, jumlah pembaca koran tinggal 4,5 juta jiwa dari penduduk di negeri ini.
Sebaliknya, lima tahun lalu jumlah pembaca media online di tanah air masih berada di kisaran 2 juta jiwa. Pada tahu 2017 jumlah pembaca media online sudah mencapai 6 hingga 7 juta.
Artinya dalam kurun wktu lima tahun terakhir pertumbuhan pembaca media online di Indonesia mencapai 500 persen dan didominasi usia 18 hingga 29 tahun.
Turbulensi jilid kedua, masih jelasnya adalah pesatnya perkembangan pengguna teknologi informasi di negeri ini. Tercatat sebanyak 100 juta orang Indonesia pengguna smartphone aktif dan ada 400 juta nama pengguna simcard yang ini menempatkan Indonesia merupakan pengguna simcard terbesar ke empat.
Pada tahun 2017, sebanyak 143,3 juta pengguna intrrnet di Indonesia tahun 2017. 150 juta pengguna media social (medsos). “Maka kemudian muncul pertanyaan apakah suatu saat koran akan mati?, apakah media online akan membunuh Koran? atau apakah media online akan menjadi ‘raja’ dalam penyebarluasan informasi di negeri ini?, jawabnya tidak.
Elba meyakini industri media cetak tidak akan mati, namun masih akan tetap bertahan dengan gaya baru yang lebih sesuai dengan kebutuhan milenial. Misalnya menggunakan perspektif jurnalisme yang membawa pengetahuan.
Saat ini harus era kolaborasi media online, koran, medsos dan komunitas. Pun demikian bagi para pelaku, sekarang merupakan eranya jurnalis video, televisi, visual dan foto sehingga para jurnalis di era sekarang penting kuasai kemampuan yang lebih lengkap, seperti menulis, video, forografi, grafik dan mampu berperan sebagai host.
Hanya saja, junalis di era modern seperti ekarang menjadi sebuah profesi yang tidak lagi menjanjikan. Namuan seiring dengan perkembangan ilmu dan pemanfaatan teknologi digital masih ada peluang dengan pendapatan jauh lebih besar dari pendapatan jurnalis. “Misalnya, bisa menjadi tenaga data analis,” tandasnya.
Sementara itu Keua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Jawa Tengah, Teguh Hadi Prayitno menyampaikan, jurnalis moderen termasuk profesi soft kompetensi. Karena jurnalis belum tentu berasal dari background pendidikan komunikasi namun bisa berasal dari latar belakang keilmuan lainnya.
Ia juga tak menampik di era milenial atau yang disebutnya sebagai era konfergensi media seperti sekarang ini media sudah tidak memiliki sekat lagi. “Sekarg era konfergensi media, ssehingga tipis batasan antara media cetak, elektronik dan online,” jelasnya.
Jurnalis SCTV ini menegaskan, saat ini, media online saja juga sudah menggabungkan platform yang nyaris seperti televisi, kendati secara kaidah- kaidah jurnalis televisi belum banyak terpenuhi. “Tetapi media online sudah banyak yang menggabungkan kecepatan tidak hanya tulisan namun juga dengan tampilan visual video,” tambahnya.
Menurutnya, ada empat kuadran media di era modern seperti sekarang ini. Yakni meliputi media yang sudah terverifikasi oleh Dewan Pers, media yang belum terverifikasi Dewan Pers tetapi masih dalam tataran proses, media tak terverifikasi Dewan Pers dan tak memenuhi kode etik jurnalistik serta media terverifikasi Dewan Pers tetapi merupakan partisan.
Ia juga menyebut, medsos bukan media massa, jika jurnalis menulis –walaupun secara kaidah jurnalistik terpenuhi-- tetapi diunggah melalui medsos, hal itu juga tidak diakui sebagai sebuah karya jurnalistik. “Tak sedikit kasus yang akhirnya berujung pada pengenaan pasal UU ITE,” tandas Teguh.