Kamis 14 Mar 2019 02:05 WIB

Mendong Khas Tasikmalaya tak Hanya Jadi Tikar

Saat ini rumah produksi mendong bisa dihitung dengan tangan.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Ani Nursalikah
Para pengrajin mendong di Kelurahan Singkup, Kecamatan Purbaratu, Kota  Tasikmalaya, Rabu (13/3).
Foto: Republika/Bayu Adji Prihammanda
Para pengrajin mendong di Kelurahan Singkup, Kecamatan Purbaratu, Kota Tasikmalaya, Rabu (13/3).

REPUBLIKA.CO.ID, TASIKMALAYA -- Sebanyak delapan orang pekerja, tujuh perempuan dan satu laki-laki, sedang fokus menenun mendong. Tangan-tangan mereka dengan teliti menempatkan batang medong di antara benang-benang tenun dalam mesin yang disebut tustel oleh mereka.

Lama kelamaan, batang-batang yang ditenun itu sambung-menyambung menjadi satu serupa tikar. Dalam satu hari, dari delapan pekerja itu setidaknya bisa menghasilkan panjang tenunan hingga 100 meter, dengan lebar sekitar satu meter.

Baca Juga

Salah satu pekerja di rumah produksi itu, Nur Hasanah (63 tahun) mengatakan, dalam satu hari ia bisa menenun mandong hingga 10 meter. Jika dalam satu pekan tenunannya mencapai 60 meter, upah yang didapatnya bisa mencapai Rp 3.000 per meter. Namun, jika di bawah target itu, upahnya hanya Rp 2.500 untuk satu meter.

Menurut dia, kerajinan mendong memang salah satu khas dari Kelurahan Singkup, Kecamatan Purbaratu, Kota Tasik. Sudah sejak lama, masyarakat di kelurahan itu menenun mendong.

Namun, zaman yang berubah membuat budaya juga ikut berubah. Kecamatan Purbaratu, yang sebelumnya banyak tanaman mendong telah berubah menjadi tanaman padi.

photo
Foto: Republika/Bayu Adji Prihammanda

Menurut dia, mendong yang saat itu ditenunnya didatangkan dari luar daerah, seperti Malang dan Jember. "Itu (mendong) kan semacam ilalang. Di sini sudah nggak ada yang nanam mendong. Sudah lama," kata dia, Rabu (13/2).

Tak hanya jarang ditemukan tanaman mendong, rumah produksi tikar mendong juga sudah banyak yang gulung tikar. Nur sendiri baru dua tahun kerja di rumah produksi itu. Sebelumnya ia memproduksi sendiri tikar mendong di rumahnya. Namun, sejak persaingan semakin ketat dan penjualan semakin sedikit, ia lebih memilih bekerja di rumah produksi lainnya.

Apep merupakan satu-satunya laki-laki yang bekerja sebagai penenun mendong. Tak seperti Nur yang maksimal menenun sepanjang 10 meter, lelaki yang berusia 32 tahun itu minimal menenun 20 meter per hari.

Meski begitu, upahnya tak jauh berbeda dengan yang lainnya. Dengan istri dan dua anak yang menjadi tanggungannya, penghasilan dari menenun mendong hanya bisa digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok.

Apep memang baru dua tahun bekerja sebagai penenun mendong. Namun, ia mengatakan produksi kerajinan mendong semakin berkuang dari hari ke hari.

photo
Foto: Republika/Bayu Adji Prihammanda

"Kalau dulu banyak di sini, hampir setiap rumah. Sekarang kan jarang, ini juga bahan dari Malang," kata dia.

Ia mengungkapkan, saat ini hanya tinggal dua rumah produksi besar yang masih aktif di Kecamatan Purbaratu. Salah satunya adalah tempat Apep dan Nur bekerja.

Dari tempat penenunan, mendong itu akan dirapikan terlebih dahulu, disemprot dengan lem, sebelum dibentuk menjadi kerajinan yang diinginkan. Dalam ruangan produksi itu, mendong-mendong yang telah ditenun dibuat berbagai macam benda, mulai dari tikar, topi, keranjang, hingga sandal.

Kerajinan yang sekiranya sudah jadi, akan dilihat lebih teliti untuk menjaga kualitasnya. Sebagian barang-barang itu akan dikirimkan ke luar negeri.

Zaenal Muttaqin (50), pemilik rumah produksi itu mengatakan, jumlah produksi di Kecamatan Purbaratu memang telah jauh menurun. Jika dahulu, hampir setiap kecamatan memiliki rumah produksinya sendiri, saat ini rumah produksi mendong bisa dihitung dengan tangan.

photo
Foto: Republika/Bayu Adji Prihammanda

"Kalau di sini, yang jelas sudah jauh menurun. Dulu yang namanya tenun ada tiap rumah. Jadi tikar mendong itu benar-benar khas Tasik," kata dia.

Karena penurunan itulah, ia menambahkan, rumah produksi miliknya itu tak lagi hanya memproduksi tikar dari mendong, melainkan juga kerajinan lainnya. Inovasi itu baru dilakukan beberapa tahun belakangan.

"Salah satu cara kita jadi sandal, kerajinan tangan lainnya, seperti keranjang," kata dia.

Menurut dia, kesulitan yang dialami para perajin dan rumah produksi adalah distribusi dan pengembangan keahlian. Alhasil, masyarakat yang sebelumnya hanya membuat tikar tertinggal dengan produk-produk lainnya yang serupa. Apalagi, produk impor dengan mudahnya menguasai pasar Indonesia dengan harga yang jauh lebih terjangkau.

Ia menilai, tak ada perhatian dari pemerintah, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat, untuk mengembangkan usaha kecil menengah (UKM). "Ini kan harus dijaga, budaya kita. Kalau sampai hilang, siapa tanggung jawab? Pelaku usaha atau pemerintah? Ini kan budaya masyarakat," kata dia.

photo
Foto: Republika/Bayu Adji Prihammanda

Zaenal lebih banyak mendistribusikan hasil kerajinan rumah produksinya ke kota-kota besar dan luar negeri. Menurut dia, pasar luar negeri justru lebih mengapresiasi kerajinan khas Tasik itu karena kerajinan mendong terkenal sebagai produk ramah lingkungan.

Ia mengklaim, tujuannya tetap mempertahankan rumah produksi mendong tak lain untuk menjaga kebudayaan. "Ini masalah mengembangkan, melestarikan," kata dia, tanpa mau menyebut omzet per bulannya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement