Senin 04 Mar 2019 15:19 WIB

Bank dengan Pertumbuhan DPK Lemah Dianjurkan Emisi Obligasi

Emisi obligasi juga dianjurkan bagi bank dengan keterbatasan instrumen Bank Indonesia

Rep: Retno Wulandhari/ Red: Nidia Zuraya
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Foto: dok. Republika
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah mengetatnya likuiditas bank, emisi obligasi dinilai akan lebih menjanjikan. Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA), David Sumual, mengatakan emisi obligasi bisa menjadi pilihan bagi bank yang pertumbuhan dana dari masyarakatnya lemah.

"Jadi memang mungkin pilihanya ya pasar modal dengan menerbitkan obligasi. Tapi Sebisa mgkin memang lewat dana masyarakat," kata David saat dihubungi Republika, Senin (4/3).

Baca Juga

Namun, David menegaskan, langkah ini tetap harus memperhatikan kondisi masing-masing bank. Emisi obligasi juga dianjurkan bagi bank dengan keterbatasan instrumen Bank Indonesia (BI) atau Surat Berharga Negara (SBN).

Meski demikian, David mengingatkan, pasar modal tidak sepenuhnya bisa diharapkan. Sebabnya, pendanaan melalui pasar modal sempat mengalami penurunan pada tahun lalu. Pada 2017, pendanaan lewat pasar modal hampir mencapai Rp 300 triliun sedangkan 2018 menurun Rp 207 triliun.

David berharap pada awal 2019 ini pendanaan lewat pasar modal bisa kembali pulih. "Tapi saya lihat sudah mulai pulih, inflow ke SBN tinggi, yang ke pasar modal Rp 63 triliun," terang David.

Sementara itu, menurut David, meskipun BI tetap menginjeksi likuiditas pasar, dana yang dialirkan masih terbatas karena adanya dana yang harus ditaruh di cadangan primer seperti Giro Wajib Minimum (GWM). David mengakui, likuiditas bank saat ini memang cukup mengetat.

Menurutnya, sejak akhir tahun lalu banyak korporasi yang mengalihkan pendanaan dari pasar modal ke perbankan. Sehingga, David melihat pertumbuhan kredit pun menjadi cukup tinggi.

Sedangkan tren dana pihak Ketiga (DPK) cenderung turun. Inilah yang menyebabkan likuiditas mengetat.

"Perkiraan BI pertumbuhan kredit masih tinggi antara 10-12 persen. Sedangkan DPK kelihatannya masih di bawah, pertumbuhannya 8-10 persen," kata David.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement