Jumat 01 Mar 2019 06:30 WIB

Gubernur BI: Kalau Bank Kurang Likuiditas, Bilang ke Saya

Bank harus tetap memperhatikan rasio kredit terhadap DPK.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Friska Yolanda
Bank Indonesia (BI): Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan pemaparan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia di Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (21/2).
Foto: Republika/Prayogi
Bank Indonesia (BI): Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo menyampaikan pemaparan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia di Bank Indonesia, Jakarta, Kamis (21/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memastikan bank sentral akan tetap menjaga likuiditas di pasar keuangan. Pada periode Desember dan Januari, BI telah menggelontorkan likuiditas hingga Rp 195 triliun. Pada bulan ini, diprediksi tindakan ini akan kembali dilakukan BI. 

Perry mengatakan, perbankan tidak perlu menaikkan suku bunga apabila mereka menilai likuiditas di pasaran kembali mengetat. Perbankan cukup memberikan informasi atau meminta tambahan apabila kondisi tersebut terjadi. "Kalau kurang, bilang saya. Kita pastikan likuiditas lebih dari cukup," ujarnya dalam acara CNBC Economic Outlook 2019 di Jakarta, Kamis (28/2).

Baca Juga

Ketatnya likuiditas karena penyaluran kredit tinggi yang belum diiringi pengumpulan dana pihak ketiga (DPK) dari masyarakat dalam jumlah besar masih menjadi isu mengkhawatirkan bagi sektor perbankan Indonesia. Apalagi, perbankan kini harus berebut likuiditas dengan pemerintah yang menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) dengan tingkat pengembalian tinggi. 

Perry menjelaskan, suntikan likuiditas akan terus dilakukan bank sentral apabila memang dibutuhkan. Pihaknya juga siap berkoordinasi secara rutin bersama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Hal ini dilakukan untuk memastikan perbankan tidak perlu meningkatkan suku bunga instrumen funding guna menjaring likuiditas. "Kalau (bank) kurang (likuiditas,) bilang ke saya," ucapnya.

Dengan kemudahan yang diberikan itu, Perry menegaskan, kini tidak ada lagi alasan bagi perbankan dalam mengerek bunga bank. Sebab, pengetatan kebijakan moneter yang ditempuh BI selalu diarahkan pada stabilitas. 

Sementara itu, Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja meminta pihak regulator untuk ‘berhati-hati’ dalam memberikan likuiditas kepada perbankan. "Jangan sampai seperti tahun 1997, ketika likuiditas terlalu digampangkan," katanya. 

Sekitar 11 tahun lalu, banyak instrumen tidak permanen yang digunakan. Dampaknya, Jahja mengatakan, tidak sedikit bank yang mengalami masalah dalam pendanaannya. Dalam memenuhi likuiditas, bank tetap harus mengumpulkan DPK. 

Jahja mengatakan, likuiditas perbankan saat ini sudah cukup baik. Namun, tetap harus diperhatikan dari segi loan to deposit ratio (LDR) dan loan to funding ratio (LFR) yang sudah mencapai 93 hingga 94 persen. Menurutnya, kondisi tersebut sudah berada di tingkat oranye, bukan lagi kuning. 

Kebijakan bank sentral untuk membuka transaksi repo atau penjualan instrumen efek perbankan Indonesia dengan perbankan untuk mendapatkan likuiditas adalah hal baik. Hanya saja, Jahja menilai, pinjaman tersebut tidak gratis. Sebab, ada underlying transaksi, yakni surat berharga negara (SBN). 

Bank menempatkan kelebihan likuiditas di SBN untuk kemudian dijadikan sebagai Giro Wajib Minimum (GWM) sekunder atau secondary reserve. Kondisi ini yang dinilai Jahja berpotensi negatif. "Kalau (secondary reserve) terus dipakai, dalam jangka panjang membahayakan," tuturnya.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement