Rabu 27 Feb 2019 18:59 WIB

Asperindo Sebut Bisnis Kargo Belum Jadi Prioritas

Tarif kargo udara naik di atas 300 persen

Rep: Rahayu Subekti/ Red: Nidia Zuraya
Petugas beraktivitas di Terminal Kargo dan Pos Bandara Jenderal Ahmad Yani. ilustrasi
Foto: Antara/Aji Styawan
Petugas beraktivitas di Terminal Kargo dan Pos Bandara Jenderal Ahmad Yani. ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Waki Ketua Asosiasi Perusahaan Jasa Pengiriman Ekspres, Pos, dan Logistik Indonesia (Asperindo) Budi Paryanto mengeluhkan pemanfaatan infrastruktur yang masih kurang. Dia mengatakan hal tersebut terjadi karena masih terdapat tata kelola regulasi yang menghambat.

Terlebih, hal tersebut semakin terasa karena perusahaan anggota Asperindo lebih banyak menggunakan pengiriman barang melalui jalur udara. "Sekarang banyak dibangun bandara baru yang celakanya sektor kargo masih jadi prioritas sekian," kata Budi dalam sebuah diskusi di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, Rabu (27/2).

Baca Juga

Dengan begitu, Budi menilai penghematan waktu yang sangat dibutuhkan dalam pengiriman ekspres melalui jalur udara tidak terpenuhi. Dia mencontohkan, bongkar muat di Bandara Kualanamu dari gudang ke pesawat bisa membutuhkan waktu hampir tiga jam.

Padahal, kata dia, pengiriman melalui jalur udara dibutuhkan dalam hitungan menit untuk proses bongkar muat. "Itu kan kalau di bandara saja lama sekali. Ini jadi contoh kalau infrastruktur pemanfataannya masih kecil. Tiga jam bongkar muat untyk bisnis melalui jalur udara itu luar biasa lama," ungkap Budi.

Dia menambahkan, permasalahan yang muncul tidak sampai di situ saja. Dengan lamanya proses pengiriman kargo di bandara ditambah naiknya tarif kargo membuat pengusaha memilih jalur lain. Salah satunya pengiriman barang melalui jalur laut.

Budi menuturkan hal yang sama juga terjadi di jalur laut meski infrastruktur di pelabuhan sudah dibangun dengan baik. "Di beberapa pelabuhan, kami bisnis kargo juga masih menjadi prioritas sekian," tutur Budi.

Dia menceritakan, ketika ada kapal muatan sembako atau semen maka muatan kargo dari pengiriman logistik dipinggirkan. Untuk itu, Budi meminta seharusnya pemerintah menata kembali tata kelola di setiap infrastruktur yang digunakan untuk logistik.

"Ini memperlihatkan kalau infrastruktur utama sudah baik tapi untuk pendukungnya belum baik. Ini yang jadi hambatan kami di tengah kargo udara naik di atas 300 persen," ungkap Budi.

Pembangunan infrastruktur jalan tol juga menurut Budi belum maksimal pemanfaatanya untuk pengiriman logistik. Salah satunya, tarif jalan Tol Trans Jawa yang mahal untuk kendaraan besar.

Budi mengingkan seharusnya pada tahun-tahun pertama pemerintah bisa menetapkan tarif lebih murah sebagai bagaian dari sosialisai. Dengan begitu, kata dia, truk atau pengiriman barang melalui jalan tol dapat memanfaatkan fasilitas infrastruktur tersebut.

"Tahun-tahun pertama seharusnya sosialisasi dulu sehingga kita senang untuk menggunakannya. Ini kita belum apa-apa tapi jalan tol sudah mahal," ujar Budi.

Sementara itu, Ketua Umum Indonesian National Shipowners Association Carmelita Hartoto tidak sependapat jika shipping company selalu disalahkan karena membuat biaya logistik tinggi. "Padahal ada pelaku-pelaku lain, mata rantai lain, misalnya pergudangan, dan lainnya," tutur Carmelita.

Jika shipping company dianggap salah, kata dia, padahal perusahaan pelayaran termasuk lokomotif. Jika perusahaan pelayaran disalahkan terus, menurut Carmelita, perlahan juga akan bangkrut dan akan mengganggu bisnis logistik.

Padahal, Carmelita menilai saat ini infrastruktur di bidang pelabuhan sudah sangat baik. "Saya harapkan ke depannya infrastruktur tetap dibangun. Pelabuhan sekarang kan diharapkan bukan hanya untuk penumpang dan barang, tapi juga pariwisata," ungkap Carmelita.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement