REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menuturkan, neraca pangan strategis yang seimbang membutuhkan data akurat. Tidak terkecuali, jagung yang selama ini kerap menjadi pembicaraan publik karena banyak data bermunculan.
Susiwijono mengatakan, neraca pangan strategis yang akurat dibutuhkan sebagai landasan pengambilan keputusan terkait masalah pangan strategis di tingkat pemerintah pada rapat koordinasi Kemenko Perekonomian. Sebab, berbicara pangan seperti jagung, akan melibatkan berbagai pihak dengan ragam kepentingan.
"Dari produsen hingga peternak," katanya dalam diskusi 'Data Jagung yang Bikin Bingung' di Gedung Kemenko Perekonomian, Jakarta, Kamis (21/2).
Saat mengambil keputusan, Susiwijono menjelaskan, pemerintah harus menjaga kepentingan produsen dan konsumen. Termasuk di dalamnya adalah peternak sebagai pihak yang memanfaatkan produksi jagung untuk pakan ternak. Untuk menyeimbangkan kepentingan ini, kuncinya adalah akurasi data.
Susi mengakui, kepentingan pada posisi berbeda tersebut membuat proses pengambilan keputusan tidak mudah. Keputusan harus seimbang yang mampu mewakili kepentingan pihak produsen maupun konsumen. "Kalau harga terlalu tinggi, nanti beratkan peternak. Sebaliknya, kalau terlalu rendah, rugikan produsen," katanya.
Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman menjelaskan, koreksi data jagung merupakan sebuah urgensi. Sebab, data komoditas yang tidak akurat diduga menjadi penyebab tidak tercukupinya kebutuhan jagung melalui impor. Padahal, data menjadi acuan utama ketika impor akan dilakukan.
Sebagai salah satu komoditas pangan strategis, Ilman mengatakan, ketersediaan dan kestabilan harga jagung sangat penting. Komoditas ini menyangkut ketersediaan dan kestabilan harga komoditas lainnya yaitu ayam dan telur dan juga industri yang menjadikan keduanya sebagai bahan baku utama.
Ketika data salah, Ilman menambahkan, maka kebijakan yang dikeluarkan menjadi tidak efektif. Salah satu contoh dimana data pangan Indonesia tidak akurat dan berpengaruh terhadap kebijakan Indonesia adalah pada tahun 2015. "Saat itu, pemerintah memutuskan untuk membatasi impor dengan alasan suplai jagung mencukupi," katanyaa, pekan lalu.
Begitu impor jagung ditutup, Ilman menambahkan, para pengusaha beralih untuk mengimpor gandum sebagai pengganti jagung. Dengan begitu, pada tahun tersebut, nilai impor gandum jadi meningkat. Padahal, sederhananya, ketika data Kementerian Pertanian (Kementan) sudah benar, seharusnya tidak ada pengalihan penggunaan komoditas seperti ini.
Koreksi data tidak hanya berdampak sebagai dasar pengambilan kebijakan impor, juga kebijakan lain yang dikeluarkan Kementan. Kementan dapat memperbaiki bentuk subsidi yang sudah diberikan selama ini.
Apabila setelah koreksi data terbukti bahwa produksi jagung tidak sebanyak yang dilaporkan oleh Kementan, maka mereka harus mengubah mekanisme subsidi yang diberlakukan saat ini.
"Misalnya penerapan klasifikasi pasar pada skema subsidi benih jagung hibrida lewat UPSUS," ujar Ilman.