REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menilai impor pangan terutama beras masih terjadi karena data yang dimiliki pemerintah tidak valid mengenai ketersediaan dan kebutuhannya.
"Di beras itu, data sangat krusial karena dibutuhkan untuk melihat berapa kebutuhan dan berapa ketersediannya. Impor beras itu terjadi karena data kita masih belum valid," kata Peneliti Indef Rusli Abdullah yang dihubungi di Jakarta, Selasa (19/2).
Menurut Rusli, data 2,8 juta ton surplus beras yang disebut calon presiden nomor urut 01 Jokowi pada saat debat capres putaran kedua, Ahad (17/2), baru terlihat setelah Badan Pusat Statistik (BPS) mempublikasikan data pada Oktober 2018. Namun, impor justru telah dilakukan pada awal 2018, jauh sebelum data valid dari BPS dipublikasikan.
"Mungkin bisa dibilang Pak Jokowi kecolongan karena sudah impor untuk stabilkan harga beras yang tinggi sejak 2017, ternyata BPS keluarkan data bahwa ada surplus," katanya.
Dengan kondisi tersebut, Rusli berharap seharusnya Jokowi bisa mendorong BPS untuk bisa mempublikasikan data lebih awal. "Coba kalau ada data sejak 2016-2017, mungkin tidak ada impor pada 2018," katanya.
Sebelumnya, isu impor pangan mengemuka dalam debat capres putaran kedua, ketika calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto mempertanyakan impor pangan kepada calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo. Dalam kesempatan itu, Jokowi menegaskan bahwa impor pangan masih dibutuhkan sebagai cadangan strategis untuk menstabilkan harga atau apabila terjadi gagal panen dan bencana alam.