Senin 04 Feb 2019 17:09 WIB

Studi: Kelapa Sawit Lebih Efisien Hasilkan Minyak Nabati

Tetap perlu kajian terkait imbas produksinya pada lingkungan dan keragaman hayati.

Rep: Lida Puspaningtyas/ Red: Friska Yolanda
Menko Perekonomian Darmin Nasution (kedua kiri) menyampaikan keterangan usai rapat koordinasi tentang kelapa sawit dan keanekaragaman hayati di Kantor Kemenko Perekonomian di Jakarta, Senin (4/2/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Menko Perekonomian Darmin Nasution (kedua kiri) menyampaikan keterangan usai rapat koordinasi tentang kelapa sawit dan keanekaragaman hayati di Kantor Kemenko Perekonomian di Jakarta, Senin (4/2/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi menyebut kelapa sawit sebagai tanaman paling produktif dan efisien dalam menghasilkan minyak nabati. Ini jika dibandingkan dengan tanaman lain seperti bunga matahari dan kedelai.

Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution mengatakan studi ilmiah seperti ini perlu dilanjutkan. Tidak bermaksud mencari kesalahan dari kelapa swit, tetapi berupaya menunjukan kelebihan dan kekurangan secara adil.

"Lalu studi tentang apa hal yang bisa ditempuh oleh berbagai negara termasuk Indonesia, dalam upaya pemenuhan produksi minyak nabati bumi," kata Darmin setelah menerima laporan dari Satuan Tugas Kelapa Sawit International Union for Conservation of Nature (IUCN), Senin (4/2).

Salah satu isi laporan IUCN menyebut kelapa sawit adalah produk perkebunan yang paling produktif dan efisien menghasilkan minyak nabati. Sebagai gambaran, untuk memproduksi satu ton minyak nabati perlu perkebunan kelapa sawit seluas 0,26 hektare.

Baca juga, Darmin: Kita Ingin Selaras Lingkungan dan Kelapa Sawit

Di sisi lain, jika diganti bunga matahari maka perlu lahan 1,43 hektare untuk menghasilkan jumlah produk yang sama. Atau perlu lahan dua hektare jika kelapa sawit diganti dengan kacang kedelai.

"Jadi perimbangannya diperlukan lahan sampai dengan delapan sampai sembilan kali lebih luas dari tanaman lainnya untuk menghasilkan kebutuhan dunia pada 2050 sebesar 310 juta ton minyak nabati," kata Darmin.

Ia menyebut ini bukan solusi yang bisa dipikul oleh bumi. Meski demikian, tetap perlu kajian terkait imbas produksinya pada lingkungan dan keragaman hayati. Sehingga studi berbasis ilmiah harus dilanjutkan untuk melahirkan pemahaman yang lebih baik bagi berbagai pihak.

"Apalagi dewasa ini banyak kampanye yang tidak sepenuhnya benar, kita di Indonesia tentu berkeyakinan bahwa kelapa sawit berhubungan dengan kehidupan banyak orang, ia juga modal bagi kita dalam mencapai SDG," katanya.

Di sisi lain, pemerintah tetap perlu menyiapkan banyak hal. Seperti melalukan penyelesaian regulasi Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan (PPTKH) yang akan diluncurkan pekan depan, juga moratoriun kelapa sawit.

Darmin yakin kelapa sawit dan lingkungan bukan memiliki hubungan yang saling merusak. Dua-duanya bisa dicapai karena pemerintah juga mengalokasikan hutan untuk konservasi juga hutan lindung. Menurutnya, Indonesia tidak dalam situasi terbatas sehingga harus memilih salah satu.

Selain itu, pemerintah juga fokus pada hilirisasi produk kelapa sawit. Sehingga nantinya ekspor tidak hanya CPO. Ia mengatakan seperempat ekspor memang masih CPO dan sisanya dalam bentuk turunan.

"Studi berbasis ilmiah tentu baik untuk dikembangkan lebih lanjut dan kita upayakan terus berjalan, sehingga bisa dicapai kesepahaman yang positif dari berbagai negara di dunia," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement