Ahad 03 Feb 2019 12:07 WIB

Tiga Sektor Pengaruhi Perlambatan Industri Manufaktur

Sektor makanan, farmasi, dan elektronika menurun.

Rep: Adinda Pryanka/ Red: Nur Aini
Mesin-mesin industri dipajang dalam pameran manufaktur di Jakarta
Foto: Antara
Mesin-mesin industri dipajang dalam pameran manufaktur di Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Ekonom Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho menilai, setidaknya ada tiga sektor yang berkontribusi terhadap perlambatan industri manufaktur besar dan sedang (IBS) secara keseluruhan. Tiga sektor itu adalah makanan, farmasi, dan elektronika.

Sektor-sektor tersebut merupakan tiga dari lima industri prioritas yang memberikan kontribusi terhadap produk dosmetik bruto (PDB) besar. Tapi, ketiganya mengalami perlambatan hingga penurunan dibanding dengan tahun lalu. "Perlambatan terlihat dari industri makanan dan farmasi yang tumbuh melambat, sementara penurunan terjadi di elektronika," kata Andry ketika dihubungi Republika.co.id, Ahad (3/2).

Andry menambahkan, industri makanan paling besar disumbang oleh produk akhir kelapa sawit yang biasanya menjadi motor penggerak utama ekspor manufaktur. Saat ini, performa industri kelapa sawit cenderung melambat meski harga kelapa sawit sedang rendah. Penyebabnya, ekspor produk yang terhalang restriksi tarif dari beberapa negara tujuan ekspor seperti India, Eropa dan Amerika Serikat. Hal itu juga bisa terlihat dari pertumbuhan IBS regional di kawasan Sumatera yang cenderung minus.

Sementara itu, industri farmasi masih belum mengalami perbaikan yang signifikan. Menurut Andry, industri itu terdampak akibat mekanisme BPJS selama empat tahun belakang yang menekan harga obat menjadi rendah. "Selain itu, beberapa kebijakan juga merestriksi perusahaan farmasi asing untuk berinvestasi meskipun sudah adanya pelonggaran daftar negatif investasi (DNI)," tuturnya.

Untuk elektronika, Andry menambahkan, daerah yang paling memberikan sumbangsih adalah Batam dan beberapa daerah di Jawa. Tapi, kini Batam mulai berpolemik dengan kewenangan otorita yang digabungkan dengan pemerintah daerah (pemda).

Kondisi tersebut membuat iklim investasi menjadi loyo dan investor cenderung memilih untuk pergi dari Indonesia. "Penanaman modal asing (PMA) manfuaktur di sektor ini yang rendah juga membuktikan hal tersebut," ujar Andry.

Banyak cara yang dapat dilakukan pemerintah untuk menghadapi perlambatan IBS, terutama memperbaiki insentif fiskal. Tax holiday tidak akan cukup apabila diberikan ke seluruh sektor dan sistemnya yang pukul rata. Pemberian insentif harus dilakukan dengan pendekatan sektoral.

Oleh karena itu, sebaiknya pemerintah memberikan insentif berdasarkan karakter dan kebutuhan sektor-sektor industri. Ada industri yang butuh keringanan di bea masuk impor bahan baku dan modal. Tapi di sisi lain, ada industri yang ingin dipermudah untuk mencari pasar ekspor baru di tengah perang dagang saat ini.

Upaya berikutnya, mengkaji dan memperbaiki regulasi maupun perizinan yang bertabrakan agar tidak membuat calon investor kebingungan. Andry menjelaskan, PMA menjadi kunci utama untuk mengaplikasikan hilirisasi industri. "Hentikan kebijakan yang selalu berganti," ucapnya.

Pelaku industri senang dengan kepastian dan kestabilan. Apabila kebijakan terus berganti, maka pelaku industri perlu mengatur perhitungannya untuk berproduksi.

Selain itu, Andry menambahkan, pemerintah harus dapat memastikan biaya operasional turun. Kuncinya terletak apda logistik dan energi. “Infrastruktur jalan tol perlu terjangkau oleh industri, jika tidak, perlu disiasati dengan kereta logistik. Energi perlu terjangkau dari sisi harga dan akses, khususnya gas,” katanya.

Sebelumnya, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data yang memperlihatkan pertumbuhan produksi IBS pada 2018 hanya sebesar 4,07 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut melambat dibandingkan pertumbuhan pada 2017 yang sebesar 4,74 persen (yoy).

Kepala BPS Suhariyanto mengatakan, manufaktur mengalami tantangan berat perang dagang, perlambatan ekonomi dunia, dan fluktuasi harga komoditas seperti minyak kelapa sawit. "Itu semua memberikan pengaruh," ujarnya di Jakarta, Jumat (1/2).

Makanan yang memiliki porsi dominan atau sebesar 25,41 persen terhadap total IBS justru tumbuh di bawah harapan. Industri makanan hanya tumbuh 7,4 persen (yoy), melambat dibandingkan pertumbuhan 2017 yang sebesar 9,93 persen (yoy).

Pertumbuhan terbesar berasal dari industri kulit, barang dari kulit, dan alas kaki yang naik 18,78 persen (yoy) dengan porsi 1,59 persen terhadap total IBS. Sementara, kontraksi terbesar terjadi pada industri komputer, barang elektronik, dan optik yang tumbuh negatif sebesar 15,06 persen (yoy) dengan porsi 2,83 persen.

Baca: Kemenperin Genjot Industri Elektronika untuk Bidik Ekspor

Dapat mengunjungi Baitullah merupakan sebuah kebahagiaan bagi setiap Umat Muslim. Dalam satu tahun terakhir, berapa kali Sobat Republika melaksanakan Umroh?

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement