REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Direktur Bank Central Asia (BCA) Jahja Setiaatmadja menilai, perbankan tengah mengalami masalah likuiditas. Pasalnya, Loan to Depocit Ratio (LDR) bank secara industri sudah mencapai 93 persen.
"Menurut saya kita ini dalam kondisi nggak bisa ekspansif lagi. Hanya saja kalau dari sisi perekonomian, dari segi bisnis tidak ada yang pesimis," ujarnya dalam Acara Institute for Development of Economics and Finance (Indef) bertajuk 'Dialog Ekonomi Perbankan Bersama Gubernur Bank Indonesia' di Jakarta, Rabu, (30/1).
Ia menuturkan, para pelaku industri memperkirakan bisnisnya akan tumbuh. Bahkan industri makanan diperkirakan tumbuh sampai 20 persen.
Hanya, kata dia, semua itu tidak terlepas dari ketersediaan likuiditas. "Itu penting. Kalau loan tumbuh double digit, tapi kita khawatir dengan ketersediaan likuiditas terkuras," ujar Jahja.
Apalagi, ia mengatakan, saat ini bank juga bersaing dengan pemerintah untuk menghimpun dana. Seperti diketahui pemerintah kini aktif menawarkan Saving Bond Ritel (SBR) sehingga investor bisa menaruh dananya di instrumen tersebut.
"Ini persaingan. Jadi setiap kita jual, paling nggak 30 persennya dari dana kita. Jadi kanibal, itulah yang terjadi di perbankan," kata Jahja.
Lebih lanjut, kata dia, tren suku bunga di tahun ini akan aman. Pasalnya, Bank Sentral Amerika Serikat The Fed diestimasikan minim menaikkan suku bunga acuannya atau Fed Fund Rate (FFR).
"Jadi (faktor eksternal) kita aman. Masalah kita lebih pada internal dana kita," jelasnya.
Perlu kesepakatan bersama
Mengenai persaingan bank dengan pemerintah dalam perebutan dana masyarakat, ekonom Senior Indef Aviliani berpendapat masalah likuiditas memang berat. Meski Bank Indonesia (BI) telah mengeluarkan instrumen Giro Wajib Minimum (GWM) serta repo.
"Tapi GWM dan repo itu kan short term. Kalau long term tetap butuh dana masyarakat," ujarnya.
Maka, menurutnya, perlu ada kesepakatan antara bank dengan pemerintah. Hal itu agar keduanya tidak saling berebut dana.
"Kesepakatan itu dalam suku bunganya. Soalnya kan selama ini suku bunga pemerintah lebih tinggi terus daripada bank. Jadi perlu kesepakatan supaya selisihnya tidak terlalu banyak," jelas Aviliani.
Dari sisi pajak, tambah dia, juga perlu ada kesepakatan. Pasalnya, kini pajak dari instrumen pemerintah juga lebih murah sekitar 15 persen dibandingkan bank.