Rabu 23 Jan 2019 15:20 WIB

Perjalanan Pengesahan RUU Migas Masih Panjang

Pemerintah tidak ingin gegabah dalam menyusun RUU Migas

Rep: Sapto Andika Candra/ Red: Nidia Zuraya
Ladang migas
Foto: Yudhi Mahatma/Antara
Ladang migas

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lahirnya Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) yang baru, sebagai pengganti UU nomor 22 tahun 2001 tentang Migas sepertinya masih harus menunggu lama. Setelah diputuskan sebagai Rancangan Undang-Undang (RUU) inisiatif DPR pada Desember 2018 lalu, pembahasan draf RUU Migas kini mulai dilakukan di level pemerintah pusat.

Prosesnya pun masih panjang. Setelah dibahas di istana, Presiden masih harus menerbitkan Surat Presiden (Surpres) untuk menunjuk wakil pemerintah dalam pembahasan tingkat dua bersama DPR.

"Masih ada pembahasan lebih lanjut. Nanti tergantung pengkajiannya gimana kan. Itu kan perlu pengkajian lebih dalam," ujar Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Migas (SKK Migas) Dwi Sutjipto usai mengikuti rapat terbatas di Kantor Presiden, Rabu (23/1).

Dwi menyebutkan, pembahasan mengenai draf RUU Migas masih akan dilakukan bersama Presiden. Pemerintah, lanjutnya, tidak ingin gegabah dalam menyusun RUU Migas karena di dalamnya menyangkut hajat hidup masyarakat.

Dwi juga menolak memberi penjelasan tentang perbedaan pandangan antara pemerintah dan DPR terkait kewenangan pengelolaan hulu dan hilir migas.

Sementara itu Presiden Jokowi menyebutkan bahwa pemerintah memang berhati-hati dalam membahas rancangan beleid ini agar tidak bertentangan dengan konstitusi. Presiden tidak ingin RUU inisiatif DPR ini malah bertabrakan dengan konstitusi. Apalagi, butuh waktu lama sejak 2015 untuk menjadikan draf RUU Migas sebagai inisiatif DPR.

"RUU ini adalah inisiatif DPR sebab itu harus kita kaji dengan cermat dan hati-hati agar tidak bertentangan dengan konstitusi. RUU ini harus mampu perkuat ketahanan dan kemandirian energi nasional," jelas Jokowi di Kantor Presiden, Rabu (23/1).

Presiden juga menekankan bahwa RUU Migas nantinya tak sekadar berfungsi sebagai katalisator peningkatan produksi minyak dan gas bumi nasional, tapi juga penguatan industri dalam negeri dan investasi Sumber Daya Manusia (SDM) di sektor migas.

"Pembentukan UU ini dijadikan sebagai momentum sebagai reformasi tata kelola migas sehingga lebih efisien dan transparan. Dan memberikan nilai tambah bagi perekonomian nasional," katanya.

Pembahasan RUU Migas memang masih alot karena ada perbedaan pandangan mengenai tata kelola hulu dan hilir migas. Dalam draft RUU Migas yang disepakati parlemen, disebutkan bahwa kegiatan usaha hulu dan hilir migas akan dilakukan oleh sebuah Badan Usaha Khusus (BUK).

Artinya, BUK ini memiliki wewenang dalam meneken Kontrak Kerja Sama dalam kegiatan usaha hulu migas. BUK juga memiliki fungsi untuk menjalankan usaha di hilir migas, termasuk yang dilakukan oleh BUMN, BUMD, atau swasta.

Berbeda dengan rancangan yang disepakati DPR, pemerintah ingin agar kegiatan usaha hulu dan hilir migas dipisah dan dikendalikan oleh dua institusi yang berbeda.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement